Bersua

663 74 23
                                    

"Halo, pak ketua kelas."

Rose membungkuk sebelum mengambil posisi duduk di samping Seokjin. Ah, iya... gadis bergitar yang tengah menahan silau setelah tapaknya menaiki satu anak tangga di depan Seokjin menyodorkan selembar kartu nama krim bermotif dandelion.

"Narahubung penerbit yang kemarin."

Tersipu malu, buru-buru menurunkan tatapan enggan bersirobok barang sebentar dengan Seokjin yang kering dan kesepian di pinggir tribun.

"Terima kasih." Seokjin berkedip sekali, angin siang membuat perih dua netra yang tengah mengawasi keriuhan nun jauh disana. Eksistensi Rose bak sosok asing yang tak sengaja saling bersua, menyapa ringan lalu kembali senyap. Biarkan angin yang menyapu degupan seiring kaki jenjangnya turun, menjauh dari Seokjin yang kembali sendiri.

-

Seokjin harus memulai dengan lembar kosong dan melukis sesuatu yang baru. Demi ibu. Air mata yang jatuh adalah hal tabu. Sebelum mati dan lenyap, tak sepatutnya acuh tatkala pipi tirus ternodai oleh jejak liquid.

Ini rahasia sejujurnya. Seokjin bersungguh-sungguh menciptakan teman pengganti dirinya untuk ibu. Pelipur lara dikala senja, waktu dimana ibu menghabiskan banyak tenaga untuk menangis. Seokjin tahu. Diam-diam menyelinap masuk dan menemani tidur. Seokjin tahu.

Ia tahu banyak.

Belum lagi bagaimana harus membuat bahagia yang tertua. Gelak tawa dan ide jahil si sulung harus kembali bagaimanapun caranya. Usil tatkala Seokjin sedang bermalas-malasan, mengabsen satu-persatu perkakas sekolah, sampai tak segan diam-diam mengempiskan bola basket si bungsu. Ia ingin semua tak lekang oleh keadaan.

"Ada Park Jimin di depan."

Seokjin mendengus keras. Ya, Seokjung berbohong. Hanya mengatakan Park Jimin tetapi nyatanya bersama pasukan.

"Hai, Jin."

Sedikit banyak ia rindu sapaan barusan. Bertatapan sejenak dengan sosok kerdil di samping Namjoon. Yoongi, hadir pula dengan wajah tanpa dosa seperti biasanya. Ya, kemarin dan kemarinnya lagi bocah itu berhasil mengirim musiknya ke dapur rekaman, dan voila! dalam waktu singkat berubah menjadi musisi. Bukan lagi pebasket.

"Bibi! Seokjin sekarang sudah punya pacar ya?"

Jinsil terkejut. Teriakan Taehyung yang setengah alami hampir mengundang gelak tawa si tuan rumah yang baru sampai di tangga ke 7, kurang 5 lagi.

"Aku hanya punya urusan dengan Yoongi."

Semua terdiam, dengan isyarat keenamnya digiring menuju pekarangan depan--lapangan basket mini milik Seokjin.

-

"Bertengkar di sini saja."

Mereka berbohong, izin berbincang di teras nyatanya melipir sampai ke tempat pembuangan gerbong. Namjoon berbicara asal kendati Seokjin sudah masam. Netra sipit di ujung jok ikut menubruk kaca spion di bagian depan. Yoongi tetap santai.

"Soal basket, aku tidak punya ambisi menjadi kapten."

Jimin gerah, mobil Namjoon yang kekurangan AC seolah mengurung ketujuhnya dalam satu sel pengap. Khawatir bertengkar dan berujar kasar satu sama lainnya, "kupikir masalah ini sudah selesai."

"Katakan sesuatu, Jin. Sudah berjalan 1 bulan, tidak baik menyimpan dendam tak berdasar."

Kaca diturunkan. Merogoh dasboard dekat Namjoon yang menyimpan sebungkus rokok yang tertinggal beberapa batang saja, "masalah sepele, aku yang keterlaluan."

Tokai yang alot tak kunjung mengubah Buthana menjadi percikan api. Seokjin kesal. Belum lagi bibirnya harus bicara banyak menjelaskan kebingungan kawannya yang makin menjadi.

"Kita baikan saja."

Hah?

Yoongi memicing. Semudah itu kah?

"Apa itu ganja?" Taehyung mulai melantur, bicara Seokjin tadi mematri persepsi berbeda di kepalanya. Hoseok lantas memukul kening si pria tanpa izin.

Seokjin tidak mabuk. Tidak melantur pula. Namjoon benar, dendamnya tak berdasar. Jikapun harus diperjelas akan terlalu pelik, bukan?

"Ini tembakau Tae. Aku minta maaf, sangat gengsi menemui Yoongi pribadi dan bicara empat mata. Sangat pengecut."

"Terus kenapa marah?"

Jungkook mulai berani menyahut kendati mimik Seokjin tetap datar, tak kunjun berubah.

"Aku memang tidak bisa bermain basket lagi." Berbenah menghadap ke lima temannya di belakang, "begini maksudnya, aku tidak tahu istilah ini. Hm, bagaimana ya.."

Mata hazel mengerling sebentar hendak menerka sesuatu, "Ataksia."

"Kalian tahu?"

Ya, Namjoon si jenius mulai bereaksi layaknya batu kapur terkalsinasi. Berbeda dengan lima orang bodoh di kursi belakang.

-

Yang tadi itu benar-benar membuat Yoongi tak bisa lagi berkata-kata. Teringat nada bicara Seokjin, raut, sampai tipu daya bocah itu yang seolah-olah tegar sembari menyembulkan asap udud agar tak terpergok menangis. Ia ikut memalingkan wajah seperti Jimin. Tersisa Hoseok yang fokus membaca gerakan bibit Seokjin.

"Pokoknya lama kelamaan bisa lumpuh.."

Yoongi menendang pot gerabah raksasa di pekarangan. Mana ada manusia sesantai itu tatkala menyampaikan kabar buruk. Seokjin melakukannya dengan baik. Menganggap lelucon, tertawa hambar tetapi mata memburam penuh akan peluh.

Basket impiannya. Kata-kata puitis bukan apa-apa tanpa berlaga di tengah lapangan bersama tim. Seokjin dulu pernah mengukir mimpinya di pohon randu, termasuk gitar, tak luput pula dari goresan spidol bertuliskan 'KBL's 5 Years Later'.

Sebelum saling berpisah tadi, ramai-ramai menyambangi kedai langganan di ujung pasar. Terbahak-bahak di bawah tenda sembari rinai merintih berebut jatuh ke bumi. Namjoon sengaja, lama tak bersua takut-takut bila suasana berubah kejat. Ternyata sama bengal. Tetap gaduh tak lekang sejentik pun. Seperti dulu lagi.

"Seokjin! Benar katamu waktu itu, karya tak akan pernah mati walau pemiliknya lenyap. Eksistensi itu 'ada' yang berarti 'menjadi'. Percuma 'ada' tapi tak jadi dan menjadikan apa-apa."

Shit!

Jungkook mulai berlagak layaknya filsuf. Mengingat semua bicara Seokjin yang sejujurnya melantur-- ya, cuma ingin membuat si bungsu bingung-- nyatanya terpatri jelas diingatan sang murid dadakan. Guru Seokjin benar-benar mengotori pikirannya dengan baik.

"Heol!"

-

New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang