Halaman keempat : Ayah

1K 126 19
                                    

Derit engsel kaliper mengaburkan lamunan.
Nampak, senyumnya hilang tergantikan tawa.
Kurang sabar rupanya, berjalan buru-buru hampir lari demi--sejamang-- dekapan yang menanti.
"Bu, sudah ku ampelas jerjak di baja tua." Ibu terenyuh, garis senyumnya melekuk hampir keriput.
Kurang apalagi?
Dek kapal yang sesak mengiming-iming seberkas kisah.
Hanyut dalam buaian asa.
Lupa, bahwa kami harus berpisah.

IBUKU

Dua helai sudah remuk diremas paksa. Seokjin belum menyangka sajaknya masuk nominasi. Buat apa susah-susah mengirim empat karya sekaligus. Tubuhnya masih menggigil walau sudah berganti pakaian. Jinsil benar-benar menghukumnya.

"Puisi untuk ibu, tapi hadiah untuk orang lain." Bergumam sendiri, sebenarnya, saat Seokjung datang ia sengaja pura-pura tidur.

"Maafkan aku, Hyung, sudah banyak merepotkan. Lain kali kubuatkan puisi terelok untukmu" Seokjin terkekeh sambil sesekali mendesis kedinginan. Pagi ini ia ada janji dengan seseorang di perempatan jalan.

--

"Pulang!"

Sebagian hanya kasak-kusuk menerima gertakan Seokjung yang menggelegar.  Sudah tidak punya nyali menyangkal tindakan sang kakak yang terlalu berani. Si bungsu hanya menunduk, menahan malu. Persetan dengan reputasi, yang jelas Seokjin gusar.

"Aku bisa jelaskan, Hyung. Sopanlah sedikit."

Mengusap kasar wajah yang telah berpeluh, merah padam sehabis meluapkan amarah. Ayolah mengerti, persepsi Seokjung dan adiknya berbeda. Seharusnya yang sulung lebih tahu.

"Sopan bagaimana? Orang seperti ini tidak pantas--"

"Kami pamit, Jin. Lain waktu datanglah lagi."

Si pakaian coklat lebih dulu pergi. Penampilan boleh dikatakan tidak senonoh, namun mendengar tuturnya barusan Seokjung merasa malu. Seokjin hanya bisa menatap kepergian  kelimanya dengan raut kecewa.

"Puas! Dia teman lamaku, bodoh!" Membanting gitar coklat sampai terhempas kasar di atas tanah. Seokjin pergi meninggalkan Seokjung yang masih mematung memikirkan segerombolan anak punk yang terlihat akrab dengan si bungsu. Kepalanya menggeleng lebih cepat, tidak sadar bahwa Seokjin melangkah lebih jauh.

"Seokjin!" Bibirnya dipaksa bergerak meski awalnya sulit. Seokjung masih mampu berteriak.

"Mau kemana, ha!"

Lemparan kaleng Coca-Cola yang dibenturkan ke dinding bangunan kumuh sengaja dibuat. Bunyinya menjadi penghias penyesalan Seokjung yang sangat sembrono.

"Melihat ayah!"

--

Bulan ke enam. Seharusnya alam bersiap menyambut musim panas yang begitu menyenangkan. Bakal daun perlahan tumbuh, meski tidak kelihatan, Seokjin masih bisa merasakan betapa girangnya makhluk Tuhan kala mentari mulai menghangatkan hamparan tanah yang lama membeku.

Seokjin tersenyum, alat tulis di pangkuan lepek diterpa embun. Sudah pukul sepuluh tapi kabut tetap betah menginvasi. Ia sebal manakala jajaran pinus terhalang oleh pekatnya si putih. Setelah marah-marah dengan si sulung, Seokjin melarikan diri ke bukit.

Eh, maksudnya setelah mengunjungi ayah barulah Seokjin datang ke bukit. Omong-omong tempat ini Yoongi yang menemukannya.

Sekolah sering memulangkan muridnya lebih awal. apalagi saat kelas tiga mulai ujian. Semua temannya sibuk wara-wiri mengurusi jadwal menjadi trainee. Terkecuali dirinya dan Min Yoongi, mau dibujuk sekeras apapun mereka tetap teguh. Berbeda dengan Taehyung yang tidak sengaja ditawari saat menemani Jimin melakukan pendaftaran. Rezeki tidak pernah salah pundak.

New Birth | KSJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang