One Step

48 9 3
                                    

***

"Aaaargghhh," suara jeritan Areumi mengudara di pagi buta.

Seisi rumah menjadi kaget hingga berlari ke halaman depan untuk melihat keadaan Areumi. Gadis itu terduduk lesu di depan rumah Mickey, air matanya tak henti mengalir. Tangannya bergetar dengan darah yang melumuri.

Di depannya terlihat seekor anjing terbujur kaku dengan kondisi yang tak kalah mengerikan. Seseorang telah melakukan hal keji pada anjing peliharaan Areumi. Padahal semalam tidak ada hal yang mencurigakan yang ditangkap gadis itu.

Suasana pagi di kediaman keluarga Lee pun menjadi riuh karena kematian mengenaskan dari anjing peliharaan mereka.

***

"Areumi, kau tampak lesu."

"Mickey ku," jawab Areumi masih diiringi isak tangis.

Sunhee hanya menepuk pelan pada bahu gadis itu. Berharap tepukannya dapat menyalurkan rasa simpati Sunhee untuk Areumi. Ketika itu, terlihatlah guratan luka di tangan Sunhee, tidak terlalu dalam tapi masih memerah karena sepertinya masih baru. Hanya ada tiga goresan disana. Lebih mirip seperti cakaran.

Hari ini sekolah berlangsung seperti biasa, rasa bosan dan kantuk mendominasi. Walau memang beberapa diantara siswa sibuk membuat salinan dari materi yang ditulis di papan tulis.

Hati Sunhee tampak gundah, sesuatu membuatnya gelisah. Sedari tadi, ia hanya menatap kosong pada papan tulis. Pikiran serta jiwanya sedang melayang kesana-kemari. Bahkan Areumi yang bertanya pun tidak ia hiraukan. Membuat gadis itu menggembungkan pipinya.

"Hey!" bisik Areumi sambil menggoyangkan tubuh Sunhee.

Sunhee mengerjap lalu menatap sahabatnya tersebut.

"Kenapa? aku yang sedang sedih, kok kamu yang melamun?"

"Engga, aku hanya lagi banyak pikiran," satu senyuman ia lemparkan pada Areumi.

"Apa karena perkataanku di atap?"

"Ahhh, bukan." segera Sunhee menyangkal.

Areumi tidak bisa percaya begitu saja. Memang terlalu konyol dirinya pada waktu itu. Memaksa seseorang membuka luka lamanya. Pada akhirnya Areumi mengucapkan maaf sebagai rasa penyesalan.

"Areumi, menurutmu apa yang terjadi dengan Mickey?" tanya Sunhee di tengah pembelajaran.

"Entahlah, sepertinya ia dibunuh. Ini teror Sunhee, aku takut."

"Bagaimana dengan keadannya?"

"Hanya berlumuran darah, dengan leher yang digunting."

Sunhee seperti menyimpulkan sesuatu. Tangan yang meremat roknya kuat-kuat hingga kukunya memutih. Terlihat getaran di matanya.

***

Siang hari di musim panas ini, Areumi berjalan di sebuah lorong klinik. Dengan sebuah kotak makan siang di tangan kanan. Langkahnya nampak riang, bahkan sesekali gadis itu bersiul. Siapa yang tidak senang dengan libur panjang di musim panas.

Apalagi hari ini ayahnya berjanji untuk mengajak dirinya makan siang bersama di taman. Sudah sangat lama kegiatan seperti ini tidak terekam lagi di memori Areumi. Bukan hanya karena sang ayah yang sibuk, juga Areumi yang harus bersikeras memperbaiki nilainya. Ia sadar, resiko apa yang harus ditanggungnya bila tidak memiliki nilai sempurna.

Ketika pintu kerja sang ayah sudah di depan mata, Areumi di kejutkan dengan sesuatu. Seorang gadis seusia dengannya keluar dari ruangan yang bertuliskan Dr. Lee.

Areumi terkesiap, dengan segera menyembunyikan diri di meja resepsionis. Bagusnya, gadis itu tidak menyadari keberadaan Areumi. Setelah di pastikan aman, dirinya berlari ke arah ruang kerja ayahnya.

Tanpa ba bi bu Areumi menyerbu ayahnya dengan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu.

"Ayah, kenapa Sunhee tadi dari sini?"

"Kau mengenalnya?" tanya balik Dr.  lee dengan wajah heran.

"Dia temanku," jawab Areumi.

Dr. Lee nampak tertegun, sesuatu mengganggu pikirannya kini. Ada raut khawatir yang di sampaikan dari sorot matanya.

"Berhenti berteman dengannya!" peringat Dr. Lee dengan wajah tegas.

"Ayah..."

"Dia seekor monster."

Areumi merasakan amarah yang mulai menyulut. Ayahnya dengan tega mengatai temannya dengan bahasa tidak manusiawi.

"Katakan padaku alasannya," tuntut Areumi.

***

Kini Areumi tengah menyusuri jalan menuju rumahnya. Semua rencana indah yang sudah menghiasi angan, kini hancur remuk tak tersisa. Langkah pun terlihat lemah karena merasakan pundaknya ditekan oleh beban yang begitu berat. Hembusan napasnya bahkan terdengar sama beratnya.

Ia menggeleng kuat ketika penjelasan dari Dr. Lee --- Ayahnya, terngiang di telinga lagi dan lagi. Ingin rasanya ia menjerit dan menenggelamkan diri di sungai Han. Tempat orang-orang yang putus asa meninggalkan jasad mereka disana.

Who? ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat