BAGIAN - DUA

2.7K 169 3
                                    

Keenan

Rasanya masih tidak percaya, aku duduk di meja makan dengan Papa dan Nandhi. Asisten rumah tangga sudah menyiapkan beberapa masakan untuk sarapan pagi ini. Dan ekspresi wajah Nandhi yang sangat bahagia bisa melihatku adalah sesuatu yang paling membahagiakan bagiku. Salah satu alasanku untuk kembali ke Jogja adalah adik perempuanku itu. Di usianya yang masih sangat belia, dia sudah harus berpisah dari ibunya. Papa juga sudah cukup tua untuk mengurus Nandhi dan selalu sibuk dengan bisnisnya. Dulu, dia sering sekali meneleponku hanya untuk merengek dan memintaku pulang karena dia merasa kesepian di rumah sendiri. Tadi pagi, saat dia melihatku sudah membangunkannya, dia sangat bahagia. Apalagi, saat aku berjanji untuk mengantarkannya ke sekolah, dia sangat bersemangat.

“Kakak, ayo berangkat ke sekolah!” serunya.

“Habiskan sarapanmu dulu, Nan,” jawabku. Aku masih melihat sisa sayuran di piringnya.

“Aku sudah tidak sabar memamerkan kakak pada teman-teman sekolahku.” Dia tampak bersemangat saat mengatakannya. Entah apa yang direncanakannya dengan memamerkanku pada teman-teman sekolahnya.

“Memangnya kakak ini mainan untuk dipamerkan?”

“Kakak bukan mainan. Kakak kesayangannya Nandhi,” serunya.

Aku tersenyum mendengarnya. Keputusanku untuk kembali dan menjaganya rasanya tidak sia-sia melihat kebahagiaannya. Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan mengikutinya ke depan rumah. Aku meminta asisten rumah tangga menyiapkan bekal makan siang Nandhi. Sementara, sarapanku, aku bahkan belum sempat menyentuhnya.

Nandhi sudah duduk di mobil dan memasang seatbelt, saat aku masuk ke dalam mobil.

“Kakak tahu, kan, tempat sekolah Nandhi?” tanyanya saat aku mulai menjalankan mobil ke luar pelataran rumah.

“Iya, Kakak tahu.”

Nandhi tersenyum. Sesekali dia menyanyi sembari melihat-lihat jalan dari jendela mobil. Dia juga menunjuk beberapa tempat dan bercerita banyak hal. Ternyata, banyak hal yang tidak aku ketahui tentangnya dan aku harus mulai belajar menghapalnya.

Aku menghentikan mobilku di depan sekolah Nandhi dan melangkah turun sembari membawakan tas sekolah dan kotak makannya. Nandhi menggandeng tanganku saat berjalan masuk ke dalam lingkungan sekolah. Dia lalu memanggil teman-temannya dan seperti yang dikatakannya tadi, dia memamerkanku pada teman-teman sekolahnya. Anak-anak kecil itu mengerumuniku seperti melihat mainan baru. Ini adalah pengalaman pertamaku. Selama ini, aku selalu sibuk dengan pekerjaanku dan tidak pernah memperhatikan adikku. Ternyata seperti ini rasanya mengurus seorang anak. Aku lalu berjongkok dan memegang pundak Nandhi.

“Nan, sekolah yang rajin, ya. Kakak mau berangkat kerja dulu. Nanti, kamu dijemput pengasuh seperti biasa. Jangan pulang kalau pengasuh belum menjemput,” pesanku yang dijawab anggukan oleh Nandhi.

“Kakak tidak menjemputku nanti?” tanyanya.

“Kakak harus kerja. Besok pagi, kakak akan mengantarmu lagi ke sekolah.”

“Asyiiik!” Nandhi tampak kegirangan.

Dia lalu mengambil tas sekolahnya dan kotak makannya. Dia berjalan meninggalkanku dan aku masih melihatnya meski dia sudah jauh. Bibirku tersenyum melihatnya membalikkan badan dan melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya lalu ia memasuki kelasnya. Aku berjalan ke luar lingkungan sekolah dan masuk ke dalam mobil. Hari ini aku akan ke kantor Papa dan memulai hari pertamaku bekerja di sana.

-00-

Mobilku berhenti di pelataran kantor dengan gedung tiga lantai. Memang perusahaan Papa bukanlah perusahaan besar yang memiliki cabang di mana-mana. Perusahaan Papa bergerak di bidang produksi kerajinan-kerajinan yang diekspor ke luar negeri. Papa juga memiliki perkebunan coklat yang langsung diproduksi menjadi makanan atau dikirim ke berbagai restoran atau hotel. Mulai hari ini, aku harus mulai untuk mengurusnya. Memang sangat berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya karena aku berkecimpung dengan dunia perbankan dan IT. 

Aku melangkahkan kakiku memasuki kantor. Beberapa pegawai tampak menyapaku karena mereka sepertinya sudah tahu tentang kedatanganku. Papa sudah menungguku di ruangannya dan aku langsung menuju ke lantai tiga. Sekretaris Papa langsung membukakan pintu saat melihatku. Ia mengantarku menemui Papa yang sedang berbincang dengan seseorang.

“Ah, kamu sudah datang, Keen.” Papa berdiri dan langsung mengenalkanku pada rekan bisnisnya. Papa langsung mengajakku bergabung untuk membicarakan rencana kerjasama mendirikan sebuah hotel. Papa ingin mengembangkan bisnisnya di sektor perhotelan karena prospek yang bagus. Menurutnya, wisatawan yang mendatangi Jogja selalu meningkat setiap tahunnya dan hotel bintang tiga selalu diminati wisatawan yang ingin menginap di hotel dengan budget minimalis.

Pekerjaanku sebelumnya sebagai kepala cabang membuatku dengan mudah masuk ke dalam pembicaraan itu. Aku sudah terbiasa berbicara dengan para pebisnis dan membicarakan tentang prospek bisnis yang bagus saat ini. Aku bisa melihat Papa tersenyum melihatku yang antusias.

Percayalah, Pa, aku tidak akan mengecewakanmu, batinku.

-00-

Langit malam ini gelap. Aku berdiri bersandar pada kap mobil depan dan sedang menatap bianglala yang tampak gemerlap di langit yang gelap. Angin malam menembus kulitku yang hanya berbalut kemeja tipis. Setelah pulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Aku hanya berputar-putar di jalanan Jogja dan berakhir di taman bermain yang buka di malam hari ini. Tidak banyak orang yang datang ke tempat ini karena mungkin ini bukan hari libur. Namun, bianglala itu terus berputar dan lampu-lampunya bersinar gemerlap. 

Sejak kecil, aku sangat menyukai bianglala. Dulu saat Ibu mengajakku naik bianglala, aku selalu bercita-cita akan mengajak Irene untuk naik wahana ini. Tetapi, belum sempat aku mewujudkannya, aku justru sudah kehilangannya. Irene sudah terlanjur menggandeng tangan yang lain dan melepaskanku. Rasa sakit yang aku rasakan masih belum juga hilang meski aku terus berusaha menerima keadaan. Dadaku terus merasa teriris setiap kali mengingat Irene. 

Tanganku mengambil rokok yang aku simpan di saku celana. Aku mengambil sebatang dan menjepitnya dengan mulutku. Tidak lama kemudian, asap putih sudah mengepul dari bibirku. Rokok ini menjadi temanku lagi sejak aku merasakan patah hati untuk pertama kalinya. Irene telah mengajariku banyak hal. Cinta dan juga patah hati di saat yang sama. Irene juga mengajariku bahwa di dalam hidup ini, kamu tidak bisa selalu berada di atas, terkadang kamu harus merasa terjepit di bawah sehingga kamu akan menghargai waktu-waktu bahagiamu.

Aku lalu membuang rokokku yang baru saja aku hisap. Aku ingat kalau Nandhi menungguku di rumah. Sekarang, aku tidak bisa memikirkan diriku sendiri karena aku memiliki seorang adik perempuan yang harus aku perhatikan.

-00-

Aku menutup buku dongeng pelan saat aku melihat Nandhi sudah tertidur lelap. Ini adalah rutinitas keduaku selain mengantarkan Nandhi ke sekolah setiap pagi. Dengan perlahan, aku turun dari tempat tidur. Lalu, kedua tanganku menarik selimut Nandhi pelan hingga menutupi sebagian badannya. Gadis kecil ini bahkan masih tersenyum saat tertidur. Aku mengelus keningnya pelan. Aku berjanji akan mengurusnya setelah Mama meninggal.

Tanganku meraih pegangan pintu dan membukanya. Lampu kamar sudah aku matikan dan menyisakan satu lampu tidur. Aku melangkah keluar dari kamar Nandhi menuju ke kamarku. Papa sepertinya juga sudah tidur. Aku berjalan menaiki tangga menuju kamarku di lantai dua. Banyak hal yang aku harus kerjakan setelah ini karena tadi aku membawa beberapa dokumen dari kantor.

Aku menyalakan lampu kerja dan mulai mengambil dokumen. Pekerjaan baru ini adalah sesuatu yang baru bagiku dan aku harus banyak belajar. Ingatanku membawaku pada perbincangan malam hari di halaman belakang rumah bersama Papa. Saat itu Papa mengatakan kalau Papa sudah merasa lelah jika harus mengurus perusahaan dan memintaku untuk mengurusnya. Aku yang saat itu masih enggan pindah dari perbankan memilih menolaknya. Namun, pada akhirnya, keadaan membawaku pada perusahaan ini. Meninggalnya Mama dan kehilangan Irene membuatku berpikir bahwa bekerja di perusahaan Papa adalah pilihan terbaik.

-00-

Close To You (END)Where stories live. Discover now