BAGIAN - EMPAT BELAS

1.4K 111 4
                                    

Danish

Layar komputer menyala terang dan tampak sekali deretan tulisan yang harus diselesaikan. Namun, aku justru meletakkan kedua tanganku di meja untuk menyangga kepalaku yang terasa berat. Semalaman aku tidak bisa tidur karena apa yang dilakukan Keenan. Bayangan tentang bagaimana dia menarikku ke dalam pelukannya lalu menciumku masih melekat di pikiranku. Bagaimana bisa dia melakukannya tiba-tiba dan tanpa permisi lebih dulu? Lalu, bagaimana bisa aku malah menerimanya dan membalasnya? Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Pipiku terasa panas membayangkannya saja.

“Aku merindukanmu, Dan. Sangat merindukanmu sampai aku tidak bisa menahannya.” Hanya itu yang diucapkannya setelah sesi berciuman selesai. Dia masih melingkarkan tangannya di pinggangku dan aku masih berada sangat dekat dengannya. Mungkin dia bisa merasakan jantungku yang berdegup kencang.

Tetapi, kenapa dia justru mengatakan rindunya padaku. Dia tidak mengatakan apakah dia mencintaiku atau dia akan memilihku daripada perempuan pilihan Papanya itu. 

Aku yang pada akhirnya memilih untuk melepaskan tangannya dari pinggangku dan berjalan mundur. Meski adegan ciuman tadi seolah cukup menunjukkan perasaan Keenan padaku tetapi aku tetap ingin Keenan mengatakannya sendiri. Aku tidak ingin terluka lagi hanya karena angan-anganku yang berlebihan pada seorang laki-laki.

“Aku pikir sebaiknya aku mulai memasak,” ucapku kemudian lalu berjalan sedikit menjauhi Keenan. Aku berusaha untuk menetralkan detak jantungku.

“Apa aku bisa membantumu, Dan?” Keenan malah mendekatiku lagi dan berdiri di sampingku. Dia mengambil pisau dan membantuku memotong sayuran.

“Kenapa kamu tidak menunggu di ruang tamu saja, Keen?” tanyaku.

“Kita kan biasa kerja tim, Dan?” sahut Keenan dengan senyum yang tersungging.

Aku pun tidak berkata apa-apa lagi dan membiarkan Keenan membantuku. Dia juga cukup pandai untuk memahami cara memasak. Dan kemarin malam, semuanya terasa indah. Keenan pulang setelah makan sop daging. Dia bahkan sempat mengecup keningku sebelum keluar rumah. Dia juga mengatakan padaku supaya tidur dengan nyenyak.

-00-

Keenan

Aku berdiri menatap jalanan di luar sana yang gelap melalui jendela kaca kantor. Tidak seperti di Jakarta yang selalu semarak, Jogja lebih tenang. Langit malam justru terasa lebih semarak. Bintang-bintang tampak berpendaran malam ini. Ingatanku membawaku pada peristiwa semalam saat hatiku memaksa otakku untuk menggerakkan tubuhku mencium Danish. Aku bahkan semakin tidak bisa mengendalikan diriku saat Danish membalasnya. Semuanya meluap begitu saja. Hingga otakku menarikku kembali pada ingatan bahwa aku dan Danish tidak memiliki hubungan apapun yang mengikat kami berdua. Otakku juga melarangku untuk mengatakan mencintainya dan malah mengatakan merindukannya. Akal sehatku seolah tidak bisa berkompromi dengan hatiku yang meledak-ledak.

Pikiranku melayang pada peristiwa-peristiwa yang terjadi antara aku dan Danish. Memang semuanya terasa berjalan cepat, seolah tiba-tiba kami berdua sudah sedekat ini. Aku bahkan tidak bisa menghentikan perasaanku yang mencintainya, tetapi, apakah dia juga mencintaiku? Jika dia mencintaiku, bagaimana dengan perasaannya yang pernah mencintai Ervin? Bagaimana pula dengan trauma masa lalunya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di otakku.

Suara pintu yang diketuk membangunkanku dari lamunan. Aku menoleh dan melihat sekretarisku berada di daun pintu.

“Ini tiket untuk ke Jepang besok, Pak.” Dia berjalan menuju meja dan meletakkan tiketku di meja.

“Terima kasih.” Dia mengangguk lalu berjalan ke luar ruangan. Aku harus ke Jepang sampai seminggu ke depan untuk bertemu dengan rekan bisnis dan aku mengajak Ervin juga. Besok pagi aku akan ke Jakarta terlebih dulu dan bertemu dengannya di sana.

Close To You (END)Where stories live. Discover now