3

625 189 177
                                    

Aku memarkirkan mobil agak jauh dari area pendakian. Memang lebih aman jika memarkir sekitar seratus atau dua ratus meter dari lokasi. Aku menyandang ransel berisi segala perlengkapan mendaki. Terakhir, mengunci mobil dan berjalan ringan menuju Pos I.

Benar saja, Sasha sedang menunggu di sana sambil memainkan ponsel miliknya. Mungkin sedang berburu barang online yang sedang promo diskon besar-besaran. Langsung saja kuhampiri gadis berkuncir kuda itu.

"Ya ampun! Lo beneran datang! Gue kira lo bakal tetap mendam di rumah," seru Sasha girang saat melihatku menghampirinya.

Aku tersenyum miring. "Here i am. Lagian acara nggak penting banget." Aku merentangkan tangan, membuat Sasha tersenyum simpul.

Gadis itu keluar dari pos, menghampiriku sambil menyandang perlengkapan tasnya. Dia kemudian berterimakasih pada penjaga pos yang membolehkannya menunggu bersama mereka. Setelah memberikan beberapa lembar uang lima puluhan, kami beranjak meninggalkan pos. Mulai mendaki.

"Yang lain pada ke mana?" tanyaku, heran tak mendapati satu pun orang di depan dalam radius sepuluh meter.

"Udah duluan naik dari sejam yang lalu. Lo sih, lumayan telat," jawab Sasha santai.

Aku tertawa renyah. Sudah dapat keluar rumah dan melarikan diri saja sudah sangat bersyukur. Alhasil, hanya aku dan Sasha yang ketinggalan rombongan dan hanya akan mendaki berdua saja.

"Oh iya, memang acara apaan, sih, Ri? Segitu nggak pentingnya sampai lo bela-belain kabur?" tanya Sasha, tangannya asik menghalau ranting-ranting yang berseliweran.

Aku mendesah panjang. Berkali-kali melengos. Tak suka mengenang kejadian yang konyol dan gila tersebut. Apa aku harus memberi tahu Sasha? Eh, apa dia berkepentingan untuk tau?

"Kalau lo nggak mau jawab juga nggak apa-apa, kok," tukasnya disertai senyum hangat, as always.

Aku menggeleng pelan. Sasha sahabatku. Mungkin memang sebenarnya dia berhak tau. Lagipula dia juga sudah berbaik hati menungguku di pos sejak satu jam yang lalu atau malah lebih.

"Seandainya lo dijodohin sama orang yang sama sekali nggak lo kenal, lo bakalan setuju, nggak? Nerima, gitu?"

"Ya enggak, lah. Lagian zaman sekarang kok, masih senang main perjodohan. Lucu banget, nggak, sih? Udah nggak saling kenal. Apalagi kalau pemberitahuannya mendadak. Lagian kalau mau nikah kan nggak mesti lewat perjodohan," celoteh Sasha sambil tertawa garing. Lucu, menurutnya.

"Gue dijodohin. Sama bokap."

Sasha menatapku tak percaya, matanya membelalak. "Lo serius?"

"Serius. Dan gue nggak akan pulang sampai bokap gue cabut perkataannya."

Sasha malah menganga sekarang. "Lo serius? Maksud gue, lo akan tinggal di mana? Terus, kantor? Lo pasti bercanda, kan?"

Aku kembali menggeleng. "Gue serius, Sha. Tempat tinggal urusan mudah. Banyak yang nyewa rumah di sekitar kantor. Dan soal kantor ... gue, kan, manager-nya. Kantor itu kantor cabang, gue yang pegang kendali. Jadi, nggak ada urusannya sama bokap. Kecuali kalau bokap gue mau rugi besar," ungkapku. Santai melanjutkan langkah. Sasha menyusul langkahku yang panjang-panjang dengan sedikit berjalan lebih cepat.

"Gue nggak tau siapa yang harus gue dukung. Lo, atau orang tua lo." Ujaran Sasha sontak membuat keningku berkedut.

"Maksud lo?"

"Gini, ya, Ri. Ini spekulasi gue aja sih. Mungkin orang tua lo jodohin buat kebaikan lo aja. Lihat aja, selama ini bokap juga, kan selalu ngarahin lo sampai sukses begini. Yah, mungkin lo nggak tau hasilnya sekarang, tapi, bukan nggak mungkin kalau kali ini gue berkata benar," jelas Sasha.

MENTARIWhere stories live. Discover now