7

435 148 155
                                    

Aku membawakan semangkuk sup hangat untuk Mentari. Percaya atau tidak, dari tadi pagi ia memang tidak memakan apapun yang disajikan pihak rumah sakit. Entah karena selera yang rendah pada nasi yang strukturnya hampir menyerupai makanan bayi, ataupun karena ia memang tidak sedang ingin makan. Sejak siang tadi, ia hanya murung. Sesekali menghela napas berat, sesekali melamun. Jadi, kuputuskan saja untuk membelikannya sup ayam. Tak ingin jatah tidurnya di rumah sakit bertambah.

"Makan." Aku menyodorinya sup ayam. Mentari menggeleng lesu. Kembali menolak.

"Makan." Sekali lagi aku memerintahkan. Lebih tegas daripada sebelumnya, tapi gadis itu kembali menggeleng. Menolak halus tanpa ucapan.

"Gue mau sholat dulu. Udah isya." Susah payah, ia bangkit. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Kembali 5 menit kemudian dengan wajah yang sudah tampak dialiri wudhu.

Aku hanya memerhatikan saja. Gadis itu kembali naik ke atas ranjang, menghadap kiblat. Kemudian bertakbir pelan. Sholat sambil duduk. Khusyu.

Aku masih memerhatikan. Aku memang kerepotan dibuatnya, apalagi dengan panggilan baru yang dinobatkan sebagai panggilan legend bagiku. Juga dengan teriakan mendadak, hingga malam ini aku harus kembali menetap. Mengabaikan segala urusan. Sedikit merasa terbebani, mengingat bahwa ada beberapa urusan yang harus kueselesaikan. Mencari tempat tinggal sementara, misalnya.

Aku terhenyak saat bilur tetes bening mendarat di pipi mulusnya. Tenang tanpa isak, ia melanjutkan sholatnya. Sebenarnya ada apa dengan sosok yang baru kukenal ini? Terkadang, ia bisa sangat buas dan juga bisa berubah lunak. Sekarang ia menangis?

Memang dari awal berjumpa, aku sudah curiga padanya. Segala yang terjadi, mencurigakan. Ia aneh. Labil, tapi tak serta-merta bisa kutinggalkan begitu saja. Bahkan sampai sekarang pun, aku tak merasa bisa tega meninggalkannya seorang diri.

"Nggak solat? Halo!" Aku mengerjap. Sejak kapan Mentari selesai dengan solatnya?

"Eh?"

"Sholat dulu," perintah Mentari.

"Sebentar lagi," ujarku. Enggan bangkit.

"Sekarang."

"Nanti."

"Mati itu nggak akan nungguin sampai kita mau sholat."

Aku bergidik. Tempo hari, Sasha dan Rifan berbicara soal azab. Kini, Mentari berbicara tentang mati. Terang aja, aku kembali dibuat jerih olehnya. Terakhir kali saat Sasha memperingatkanku tentang azab, hal itu kebetulan terjadi. Itu karena aku memang belum melaksanakan solat. Aku menelan ludah. Bangkit. Berharap kali ini, omongan Mentari tak lantas akan terjadi.

Mentari tersenyum lebar. Gingsulnya tampak jelas saat ia tertawa menyaksikanku bangkit dari sofa menuju kamar mandi.

Selesai berwudhu, aku baru hendak keluar dari kamar rawat Mentari saat ia memanggilku.

"Sholat di sini aja. Itu, sajadahnya di lemari. Kiblatnya ke sana." Mentari memberikan instruksi. Aku mengusap tengkuk, mengikuti perkataannya.

Sudah berapa lama aku tidak menjalankan solat teratur seperti hari ini. Entah mengapa, Mentari tak pernah lelah menyuruh, berkoak setiap lima kali sehari. Membuatku tak kuasa menolak. Alarm sholat praktis tanpa aplikasi. Yah, tidak buruk. Setidaknya, aku tidak mendapat azab untuk hari ini.

Setelah salam, aku menoleh ke arah Mentari. Ia sedang berusaha menghabiskan supnya. Aku duduk di sofa, menatap siaran televisi yang tak pernah bosan menampilkan sinetron.

"Gue boleh nanya?" Suara halus Mentari membuatku memalingkan wajah ke arahnya.

"Boleh," jawabku singkat.

MENTARIWo Geschichten leben. Entdecke jetzt