Bab 01 : Waktu Yang Beranjak

492 89 34
                                    

Tidak ada yang tahu rencana semesta yang selanjutnya karena kita hanya perlu mensyukuri apapun yang terjadi hari ini, esok dan selamanya.

🍂

Shalsabila azzahra atau orang lebih akrab menyapanya Caca. Perempuan cantik dengan rambut sebahunya, kedua bola matanya yang bulat dan hitam pekat, bulu matanya yang lentik dan selalu bertingkah polos dan aneh itu dan jangan pernah mengira ia tampak seperti gadis yang memiliki tinggi menjulang bak model, bahkan tubuhnya yang terbilang masih mungil itu lebih mirip seperti anak yang baru saja tamat dari Sekolah Dasar.

Tetapi sekarang ia bukan lagi anak SD maupun SMP karena hari ini adalah hari pertamanya memasuki tahun ajaran baru di SMA Tunas Jaya dan mulai sekarang dia harus lebih dewasa dan tidak bersikap manja lagi.

Kring ...

Kali ini bukan suara bel di sekolah, tapi ini suara jam weker di kamar perempuan yang masih tertidur lelap di bawah selimut. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit yang berarti setengah jam lagi sekolahnya sudah menutup gerbang . Apalagi ini awal masuk sekolah untuk peserta didik baru di Tunas Jaya yang baru mengikuti MOS atau Masa Orientasi Siswa.

Perempuan yang sedari tadi masih terlelap mulai terjaga karena ada yang mengetuk pintunya.

"Iya ... Mama, sabar! Caca masih ngantuk nih, kan masih pagi-pagi juga." cibir Caca dengan suara serak khas bangun tidur. Alih-alih bangun ia malah semakin menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya.

"Bangun, emang gak mau sekolah kamu? Udah jam setengah tujuh ini, kebiasaan ya bangun kesiangan terus. Anak gadis nggak boleh malas-malasan!" ujar seorang wanita paruh baya.

"Iya, Mama. Lima menit lagi ... ya," sahut Caca yang masih ogah-ogahan.

Keyana berdecak kesal.

"CA, CEPETAN BANGUN MAMA BILANG!" pekik Keyana kesal, kalau sudah begini mau tidak mau Caca harus segera bangun dan membersihkan diri lalu sarapan daripada harus mendengar mamanya marah-marah sampai besok lusa.

•••

Setelah menghabiskan waktu lima belas menit bersiap-siap. Caca segera membuka pintu kamarnya. Di lihatnya Papa dan Mamanya sudah duduk di meja makan untuk sarapan. Jarang-jarang mereka bisa sarapan sama-sama biasanya Papanya sudah berangkat ke kantor di pagi-pagi buta karena urusan yang mendadak di kantornya dan Mamanya yang tentu saja juga punya kesibukan tersendiri.

Dengan senyum yang kian merekah, Caca menuruni anak tangga sambil menyapa hangat kedua orang tuanya.

"Selamat pagi Mama, selamat pagi Papa!" seruan gadis itu.

"Ya ampun, kagetin Mama aja deh. Ayo cepet sarapan! Lima belas menit lagi kamu udah telat ini,"

"Asik ... nasi goreng kesukaan Caca, sosisnya banyak kan, Ma?" tanyanya sambil melihat nasi goreng itu dengan mata berbinar. Jarang-jarang kan Mamanya masak nasi goreng biasanya mereka cuma sarapan roti dengan segelas susu saja karena Mamanya yang selalu di sibukkan dengan toko kuenya yang bisa dibilang selalu ramai dan cabangnya dimana-mana.

Papanya mulai berbicara yang sedari tadi cuma memandangi kedua perempuan yang selalu membuat hidupnya berarti itu. "Anak Papa makin cantik pakai seragam abu-abu. Berarti udah gede kan, udah gak boleh manja-manja lagi sama Papa apalagi sama Mama."

Caca menekuk bibirnya ke bawah. "Caca kan masih kecil jadi masih boleh manja-manja, kan cuma seragam Caca yang beda bukan Cacanya yang udah besar. Iya nggak, Ma?"

Keyana cuma bisa geleng-geleng kepala, tingkah anak satu-satunya itu memang selalu manja kalau sudah ketemu Papanya.

"Iya, iya, sarapan cepat nanti telat. Papa juga masih banyak kerjaan di kantor," ujar Wijaya sambil kembali menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya.

"Siap Jendral!" seru Caca sambil mengangkat tangannya hormat.

•••

Setelah menghabiskan sarapannya Caca segera pamit dengan Mamanya dan berangkat ke sekolah di antar Papanya pagi ini.

Caca melirik jam tangannya, lima menit lagi gerbang itu sudah di tutup. Sekolahnya itu memang sangat disiplin soal waktu. Caca sudah makin gelisah sedari tadi.

"Pa, emang masih lama, ya? Caca udah telat sepuluh menit nih!"

Wijaya terkekeh geli, melihat anaknya yang sibuk tengok kiri kanan sedari tadi. "Udah dekat, tuh di depan sekolahnya udah kelihatan."

Mobil berwarna putih itu akhirnya berhenti tepat di depan gerbang sekolahnya. Sudah tidak ada lagi anak yang berlalu lalang. Cuma satpam yang setia berdiri di depan gerbang dengan kumis tebalnya dan siapapun yang melihatnya pasti langsung takut di buatnya.

Caca segera turun setelah berpamitan dengan Papanya. Ia segera berlari menuju gerbang yang sudah tertutup dari sepuluh menit yang lalu itu.

Dengan ketegangan yang sudah sampe ke ubun-ubun Caca mulai tersenyum kikuk kepada pak Tono, name tag yang terpampang jelas di baju khas satpamnya itu.

"Per—permisi, Pak. Duh ... maafin Caca ya, Caca telat soalnya anu ... itu Caca bantuin Mama jualan susu," gadis itu masih memperlihatkan senyum masamnya, kemudian ide yang ntah datang dari mana di kepalanya itu, membuat ia langsung tersenyum lebar sekarang. "Ah! iya jual susu, Pak!"

Pak Tono dengan muka yang bisa di bilang super seram, mengangkat tangannya ke pinggang, tampak meneliti anak kecil yang sekarang berdiri di hadapannya ini. "Jual susu tapi ke sekolah di antar mobil? Masih anak kecil udah pintar bohong ya kamu! Udah telat sepuluh menit juga!"

Caca menepuk jidatnya pelan.

"Iya juga ya pak, Caca kok dodol sih! Harusnya Caca tadi bilang lagi jual sapinya pak Mamang biar gak bohong-bohong amat," gumamnya pelan sambil sibuk meruntuki kebodohannya. Caca terus berbicara tidak jelas tapi masih bisa di dengar oleh pak Tono.

Pak Tono akhirnya masih memberi kesempatan Caca untuk masuk tapi kalau telat lagi sudah pasti langsung di suruh pulang.

"Yasudah, masuk! Saya masih kasih kamu keringanan. Besok jangan telat lagi!" ucapnya sambil menatap Caca tajam sambil melanjutkan kalimatnya. "Apalagi sampai bohong lagi. Bapak mutilasi mulut kamu, mau?"

Sekarang Caca hanya bisa mematung. Apalagi mendengar pak Tono mengatakan mutilasi. Caca langsung memegang bibirnya was-was siapa tahu besok benar-benar sudah hilang karena di mutilasi beneran sama bapak berkumis itu.

"Iya. Caca janji pak gak akan bohong lagi! Besok Caca nggak jualan susu lagi deh kalau gitu, tapi ... jual ginjal aja. Ginjalnya Bapak tapi," Caca tergelak sambil terus berlari melewati pak Tono yang sudah mulai naik darah dengan tingkah Caca barusan.

"Dasar anak kecil kalau di sekolahin belum cukup umur ya gini, gak tau sopan santun!" ujarnya sambil menggelengkan kepalanya.

Caca terus berlari tidak berhenti melihat kebelakang, memastikan jaraknya sudah jauh. Siapa tahu pak Tono mengejarnya dan memutilasi mulutnya. Bahkan bukan cuma mulutnya semua organ tubuhnya bisa di mutilasi pak Tono kalau sudah marah.

Tetapi sayang seribu sayang, setelah ini musibahnya jauh lebih menyeramkan di banding bertemu dengan Pak Tono.

TurtleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang