ᴊᴀᴠᴀᴢ 𝟷𝟷

4.2K 623 212
                                    

Bian menggedor pintu rumah Doyoung dan dirinya yang terkunci. Sepatunya dia lepas dan berserakan seperti biasa.

"Doy, buka!"

Jeffrey menyilangkan tangan lalu berdecak kesal. Ayahnya selalu mendidik dirinya dan saudaranya untuk selalu beretika terhadap orang lain, walaupun yang kita benci sekaligus. Membenci seseorang itu tetap harus elegan. Tidak boleh sampai berlaku murahan dengan menyakiti secara fisik dan perasaan.

Sepertinya tidak berlaku lagi ajaran dari ayahnya bagi Bian. Karena gadis itu terus menggedor dan mengomel karena Doyoung tidak segera membuka pintu untuknya.

"Doy, lama amat sih lo?"

Kemudian pintu terbuka pelan. Langsung saja Bian mendorong kuat pintunya hingga Doyoung ikut terdorong. Badannya lemas dan wajahnya pucat, belum lagi tangan kanannya yang masih digips.

"Maaf lama, saya pusing soalnya."

Bian masuk tanpa mempedulikan Doyoung yang berjalan sempoyongan.

"Mas Doy, enggak apa-apa?" Tanya Jeffrey sopan.

Doyoung hanya tersenyum dan menggeleng lemah, "Dibuat tidur bentar paling juga enakan."

Jeffrey mengangguk lalu dipersilahkan masuk dan duduk oleh Doyoung.

"Mau minum apa, Jeff?"

Jeffrey menggeleng, "Gampang mas, nanti aku bisa ambil sendiri ke dapur. Mas Doyoung istirahat aja, pucet gitu. Sudah minum obat?"

Doyoung hanya tersenyum membalasnya. Dia tidak ingin Jeffrey merasa kerepotan jika dia mengatakan belum minum obat dan sarapan. Dia tidak punya tenaga untuk membuat sarapannya. Berdiri saja pusing. Ini tadi jika bukan karena Bian, Doyoung tidak akan bangun dari ranjangnya.

"Sudah apa belum?"

Doyoung menggeleng pelan, "Ah, gampang itu mah. Paling masuk angin biasa."

"Aku kerokin ya mas?" Jeffrey menggulung lengan jaketnya dan beranjak mencari koin beserta minyak.

"Apa sih, enggak usah. Tidur doang pasti udah sembuh kok."

Jeffrey mau memaksa lagi tapi dia bukan siapa-siapa Doyoung. Lagi-lagi Jeffrey kecewa dengan sikap adiknya kepada Doyoung. Dia terlalu kasar dan tidak peduli. Bahkan saat Doyoung sakit sekalipun Bian masih menyuruh Doyoung untuk membereskan buku-buku miliknya.

Doyoung berpegangan erat pada pinggiran meja belajar milik Bian. Dia meraih satu persatu buku pelajaran Bian dan memasukkannya dalam kardus. Kemudian ia terduduk karena merasa kepalanya berputar.

"Suratnya sudah kamu tanda-tangani?"

"Udah," Bian berdusta. "Tapi ketinggalan di kamar."

"Segera berikan ke saya agar segera diurus."

Bian berdecak lalu berbalik badan. Dia berkacak pinggang melihat Doyoung, "Lo juga ngarepin cerai dari gue juga kan?"

Mata Doyoung membulat, "Bukan gitu maksud saya, Bian. Saya hanya," Ucapan Doyoung terpotong.

"Apa? Cuman apa? Jadiin gue pelampiasan doang gara-gara lo ditinggal nikah sama Mbak Seje?"

Teacher; DoyoungWhere stories live. Discover now