1| Risiko

7.4K 734 29
                                    

Ketika Dokter mengatakan bahwa Andhira hamil. Hanya satu kata yang Dhira ucapkan. "Shit!"

Hamil di luar nikah dengan usianya yang baru dua puluh tahun dan orang yang menghamilinya adalah sahabatnya sendiri bukanlah hal yang baik. Rasanya Dhira ingin berteriak dan memaki, tapi entah kepada siapa. Ia tahu, menyesal dan menangis meraung akan hal yang ia alami bukanlah sikap yang tepat. Menyesal tidak akan merubah apa pun. Ia akan tetap menjadi perempuan yang hamil di luar nikah. Bagaimana pun juga ini salahnya. Ia dan Nadhif, sahabatnya 'melakukannya' atas dasar saling membutuhkan untuk menyalurkan hasratnya. Dhira tahu perbuatannya dan Nadhif bukan hal yang baik. Mereka sering melakukan perbuatan yang tak seharusnya mereka lakukan. Terlebih Nadhif sudah memiliki kekasih yang sudah seharusnya lelaki itu jaga perasaannya. Dhira yang tahu Nadhif sudah memiliki kekasih pun tak pernah menganggap bahwa Leta, kekasih Nadhif, sebagai alasan untuk mereka tidak have sex. Dhira tahu ia adalah gadis brengsek yang berani have sex dengan lelaki yang sudah memiliki kekasih, tapi, Nadhif, sahabatnya sejak SMA itu juga tak kalah brengsek darinya.

Dan sekarang, ia dan Nadhif mendapatkan risiko atas perbuatan mereka.
Mempertahankan atau 'melepaskan' janin yang ada di perutnya?

Tentunya jawaban yang akan Dhira beri adalah pilihan ke dua. Dhira belum siap memiliki anak, mungkin lebih tepatnya, ia juga tak ada keinginan untuk memiliki anak.

Hidupnya sudah berantakan dan ia tentu tak mau mengikutsertakan anaknya dalam kehidupannya yang menyebalkan. Dhira pun yakin, Nadhif pasti berat untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Meskipun brengsek, Nadhif memiliki masa depan yang lebih cerah dibandingkan dirinya. Nadhif merupakan mahasiswa teknik semester lima. Lelaki itu cukup pintar dan merupakan mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi. Nadhif mampu bangkit akan keterpurukan hidupnya dan mulai menjalankan kehidupan yang normal. Rasanya terlalu jahat bila Dhira memaksa lelaki itu untuk bertanggung jawab. Bagaimana pun juga ia adalah teman yang menemani Nadhif bangkit. Ia tahu bagaimana susahnya Nadhif untuk memperbaiki hidupnya. Dan dengan meminta lelaki itu bertanggung jawab tentu akan menghancurkan apa yang telah lelaki itu bangun.

Kasih gue waktu buat mikir, Dhir

Dhira membaca lagi pesan yang Nadhif kirim sejak mereka bertemu dua minggu lalu. Sudah dua minggu berlalu dan lelaki itu tak memberinya kepastian. Dhira pun tak punya waktu untuk mampir ke kossan Nadhif untuk meminta keputusannya. Ia mendengus kasar, merasa tak habis pikir dengan pemintaan Nadhif. Memangnya apa lagi yang harus dipikirkan? Ia pun memaki karena harus menunggu Nadhif selama ini. Sungguh, perutnya akan terus berkembang dan harus secepatnya ia menyelesaikan 'ini'.

Dengan kesal, Dhira pun mengetik pesan pada Nadhif.

Gue udh nunggu lama. Plis, kirim duit secepatnya. Gue harus cepet nyelesain masalah kita

Dhira pun melempar ponsel jadulnya ke kasur dan memilih merapikan kamarnya. Ia menatap beberapa tespek yang ada di atas meja, lalu tanpa ragu ia membuangnya. Bohong jika ia tak merasa dosa karena memilih untuk aborsi. Ia selalu merasakan ketakutan ketika berpikir akan membunuh anaknya sendiri. Ia sudah punya dosa banyak dan sekarang ia malah harus menambah dosanya lagi dengan membunuh janin yang tak bersalah.

Hampir satu jam lebih ia membersihkan kontrakannya yang sudah lama tak ia bersihkan karena terlalu sibuk bekerja. Homemade tempat ia bekerja sedang banyak order-an, oleh karena itu beberapa hari ini ia selalu lembur. Setelah beres membersihkan kontrakan ia pun menyalakan kompor dan membuat mie instan. Sambil menunggu mie-nya matang, lagi-lagi ia memikirkan janinnya. Sepertinya ia stres karena terlalu banyak pikiran.

Pintu kontrakannya tiba-tiba dibuka dan masuklah seorang perempuan berjaket hitam dengan masker, sambil membuka helm gadis itu berkata, "Hello, bitch."

Resiliensi | Seri Self Acceptance✅Where stories live. Discover now