14| Yang Lalu

2.9K 378 6
                                    

Playlist : Day6 - Like a Flowing Wind

***

Kenyataan bahwa Mira tidak bisa hamil entah kenapa membuat perasaan Dhira tak menentu. Dan Dhira tak tahu perasaan apa yang ia rasakan sekarang, yang ia tahu, ia hanya merasa tak enak pada Mira meskipun ia tak melakukan kesalahan apa-apa.

Dhira menatap perutnya yang sedikit membuncit, dengan ragu ia mengangkat tangannya dan mengelus perutnya selembut yang Mira lakukan tadi. Ia tak punya perasaan apa-apa pada janinnya sendiri, tapi ia merasakan getaran asing yang selalu datang setiap kali ia ingat ada calon manusia di dalam perutnya.

Seharusnya Dhira bersyukur dan tak menjadikan anaknya sendiri sebagai pembawa bencana. Anaknya berhak hidup dan anaknya berhak mendapat kasih sayang darinya. Namun, Dhira belum bisa. Masih banyak penyesalan yang ia rasakan ketika ia mengalami kesulitan karena pilihan ini. Masih banyak kata "menyerah" di otaknya jika ia sudah tak kuat dengan apa yang ia jalani sekarang. Ia butuh waktu. Waktu untuk menerima semua ini secara keseluruhan. Dan Dhira tak tahu kapan ia bisa berdamai dengan itu.

Perasaan bersalah jelas menyelimutinya. Anaknya tak salah apa-apa, tapi dia sudah mendapat banyak tekanan. Mata Dhira tiba-tiba memanas, ingin menangis entah karena apa.

"Dhira." Panggil Nadhif yang baru saja duduk di sebelahnya. "Lo kenapa?" Tanya lelaki itu setelah melihat matanya memerah.

"Gue cuman sedih aja." Balas Dhira singkat. Ia lalu kembali fokus pada pekerjaannya yang sedang menyalin pesanan online yang masuk.

"Sedih kenapa?" Tanya Nadhif khawatir.

"Gue terharu karena de utun nggak pernah ngidam apa-apa. Baik banget kan Dhif anak kita ini." Balas Dhira bercanda. Tak ada alasan pasti mengapa ia berbohong pada Nadhif, ia hanya tak ingin membuat lelaki itu ikut bersedih.

"Ya Allah, gue lupa kalau ibu hamil itu biasanya suka ngidam." Seru Nadhif heboh. "Kok lo nggak pernah ngidam, sih, Dhir?"

Dhira menggeleng, "Nggak tahu. Aneh banget nggak, sih? Apa de utun tahu, ya, kalau emak bapaknya pasti males buat ngeladenin dia?"

"Eh gue nggak akan males, ya." Ujar Nadhif tak terima. "Kalau de utun minta apa-apa gue jabanin, Dhir."

Dhira mendesis pelan, "So' banget lo, anjir."

"Serius, Dhir. Gue nggak mau anak gue jadi ileran gara-gara pas lo hamil ngidamnya nggak pernah dikabulin."

"Musrik lo percaya yang begituan." Dhira menutup bukunya lalu bangkit, ia berjalan menuju ranjang dan mulai merenggangkan badannya. "Matiin lampu dong gue mau tidur."

"Dhir ini masih jam delapan malem masa mau tidur." Ujar Nadhif heran.

"Bodo amat."

"Dhir jangan tidur dululah, buatin gue mie goreng, lapar, nih." Pinta Nadhif sambil menarik tangan Dhira. "Ayo, ke dapur."

Dhira berdecak kesal sambil menghempaskan tangan Nadhif, "Selain gampang capek sama pegal-pegal, sejak hamil tuh bawaannya gue mageran dan pingin tidur terus, Nadhif. Jadi udahlah, lo nggak usah ikut campur. Bikin mie sendiri saja, emang gue babu lo."

"Dhir, kemarin pas ke rumah Bang Reno gue liat Kak Mira merhatiin suaminya banget. Dia bahkan ngeduluin Bang Reno makan dibandingkan dirinya sendiri. Masa lo kayak gini ke suami sendiri?" Protes Nadhif.

"Jangan samain gue sama Kak Mira." Balas Dhira kesal.

"Tapi lo harusnya belajar buat jadi istri ke Kak Mira." Protes Nadhif lagi.

"Anjir lo ngeselin sumpah." Dhira bangkit dari tidurnya lalu keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Sepanjang membuat mie untuk Nadhif, tak henti-hentinya Dhira berdecak kesal. Ia kesal dengan Nadhif yang mendadak mengungkit statusnya sebagai suami dan so-soan menasihatinya.

Resiliensi | Seri Self Acceptance✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang