7| Yakin

3.6K 432 14
                                    

"Udah malem, Dhir, tidur aja."

Nadhif melirik Dhira yang sedang bersandar di tembok sambil memperhatikannya yang sibuk dengan tugas.

"Kok lo masih bisa ngerjain tugas, sih, di saat keadaan lagi ribet begini?"

Nadhif terkekeh pelan, "Pinginnya, sih, gue nggak ngerjain ini tugas, tapi gue nggak mau matkul ini ngulang tahun depan."

"Sekarang lo jadi serius belajar. Pas jaman sekolah dulu nggak pernah gue liat lo serius belajar."

Nadhif tersenyum tipis, "Manusia kan bisa berubah, Dhir. Lagipula gue jadi punya motivasi baru sekarang."

"Apa?"

"Gue kan harus cepet dapet gawe, Dhir. Lahiran dan ngurus anak juga butuh biaya." Nadhif terkekeh pelan.

"Nenek bakal ngasih restu nggak, ya, Dhif?" Dhira mengabaikan perkataan nadhif sebelumnya. Ia termenung.

Sejak tadi mereka sampai ke kosan Nadhif, ia banyak terdiam. Otaknya dipenuhi dengan berbagai macam pikiran yang membuatnya sulit untuk duduk dengan tenang. Dhira harus memuji Nadhif karena lelaki itu sempat-sempatnya mengajaknya makan bakso tadi di saat untuk makan pun Dhira tak ingin.

"Pasti." Jawab Nadhif tanpa menatapnya. "Gue bakal ngeluarin jurus andalan. Dan bisa dipastikan sesudah itu nenek bakal kalah."

"Dan beliau bakal mgasih izin kita nikah?"

Nadhif mengangguk.

"Habis nikah terus apa, Dhif?" Tanya Dhira. Ia masih setia menatap Nadhif yang terus sibuk mengetikkan sesuatu di laptopnya.

"Kita tinggal bareng, nunggu lo lahiran, terus anak kita lahir." Jawab Nadhif santai.

"Terus kalau anak kita udah lahir?" Tanya Dhira lagi.

Nadhif menghentikan ketikannya dan menatap Dhira bingung, "Ya kita urus anak itu. Memangnya apa lagi? Nggak mungkin juga kita jual itu anak, kan?"

"Kenapa nggak?" Balas Dhira.

Kening Nadhif semakin berkerut, "Maksud lo?"

"Gue tadi mikir. Mungkin kita memang terlalu nekat kalau mau ngebesarin anak ini. Mama dan nenek lo pun nggak setuju kalau kita nikah. Mungkin pilihan kita itu-"

"Lo nyesel milih ini?" Potong Nadhif. "Sekarang lo mau ngegugurin anak kita, gitu?" Nada suara lelaki itu bahkan tampak meninggi.

"Nggak, Dhif. Mungkin gue bakal ngejaga sampai anak ini lahir. Terus anaknya kita simpen di panti asuhan atau kasih ke orang yang lebih siap buat ngebesarin anak ini. Kita.. nggak akan mampu, Dhif. Omongan Mama dan Nenek lo bener."

Nadhif berdecak dan menatap tak percaya pada perempuan yang sedang duduk di atas kasur kecilnya. Wajah Dhira tampak lelah, dan Nadhif cukup peka bahwa Dhira pasti punya beban tersendiri akibat hari ini.

"Kita kan sepakat buat tanggung jawab, Dhir, lo lupa?"

Dhira menggeleng pelan, "Dengan gue ngejaga anak ini sampai lahir, kan, udah termasuk bentuk tanggung jawab, Dhif. Setidaknya anak ini jadi punya kesempatan buat hidup. Jadi.. kita nggak perlu nikah. Lo cuman harus bantu gue sampai anak ini lahir. Udah itu, masalah kita selesai. Lo dan gue bisa lanjut hidup kayak biasa."

Nadhif terdiam beberapa saat lalu setelah itu, tanpa kata Nadhif berdiri mengambil rokok dan korek di meja dan keluar kamar meninggalkan Dhira sendiri.

***

Nadhif menghela napas kasar dan tanpa sadar menghempaskan mouse yang sedang ia pegang. Ketika tulisan 'Game over' muncul dilayar, tanpa kata Nadhif langsung berdiri dan meninggalkan warnet game yang dua jam lalu ia datangi.

Resiliensi | Seri Self Acceptance✅Where stories live. Discover now