2.22 Ayah Terbaik

416 50 4
                                    

Rasanya membuka mata saja terasa berat.

Setidaknya itu yang dirasakan Hamzah. Sekujur tubuhnya lemas. Jika saja ada yang bertanya apa dia merasa sakit dia akan kesulitan menjawab. Rasanya aneh. Tubuhnya yang lemas terasa nyaris mati rasa di satu sisi, seolah dia tidak memiliki kuasa menggerakkannya. Namun di sisi lain Hamzah merasa nyeri mendera sekujur tubuh. Benar-benar susah dijelaskan.

Satu yang dia yakini, meski samar dia merasakan ada yang melakukan sesuatu dengan tangannya.

Pada akhirnya mata Hamzah terbuka sempurna. Menampilkan iris cokelat tua yang terlihat sayu.

"Papa," ucapnya nyaris menyerupai bisikan ketika mendapati sang ayah tengah memotong kuku jarinya.

"Hmm?" Rizwar menoleh menatap wajah sang putra, tersenyum tipis mendapati si bungsu itu yang kini kembali membuka matanya. Dia mengusap puncak kepala Hamzah lembut, "Akhirnya kamu bangun. Kuku kamu udah panjang. Sekalian papa potong."

Tidak apa-apa, toh Hamzah tidak keberatan. Omong-omong dia kadang memang malas memotong kuku.

"Kamu haus? Atau mau pipis?"

Hamzah menggeleng, "Mama mana?" tanyanya. Hamzah bicara lebih jelas sekarang. Perlahan dia mengumpulkan kekuatan dan kesadarannya. Aneh sekali melihat ayahnya menjaga seperti ini. Bukan berarti tidak pernah. Hanya saja Hamzah lebih sering bersama Hera.

"Mama keluar, papa nyuruh mama keluar sama temen-temennya sekali-kali. Kenapa? Kamu mau mama pulang?" Rizwar bertanya.

Untuk kedua kalinya Hamzah menggeleng. Benar juga, Hamzah sadar bahwa selama dua tahun ini -- lebih tepatnya sejak dia divonis sakit -- ibunya nyaris tidak pernah keluar rumah bersama teman-temannya. Ketika mereka di luar negeri jelas Hera terus menemaninya. Bahkan ketika mereka kembali ke Malang dan kondisi Hamzah sebenarnya bisa dikatakan stabil pun Hera tetap memilih untuk lebih sering tinggal di rumah. Terkadang Hera hanya akan keluar rumah jika harus hadir ke pesta pernikahan atau acara-acara tertentu, sangat jarang. Hamzah rasa ayahnya melakukan hal yang tepat untuk membiarkan ibunya pergi keluar sekali-kali. Bagaimanapun Hera memiliki kehidupan lain selain terus mengurus Hamzah.

"Kenapa pake ini?" lagi-lagi Hamzah bertanya, kali ini sambil menyentuh nasal canula di bawah hidungnya.

"Kamu drop tadi pagi, gak inget?" pertanyaan Rizwar kembali dijawab gelengan oleh Hamzah. "Susah nafas kamu, nanti kalo stabil dilepas."

Hamzah hanya diam, mengerti dan menghentikan protes. Kemudian memilih fokus melihat tangan ayahnya yang hampir selesai memotong kukunya. Keduanya sama-sama tidak mengeluarkan suara, entah kenapa Hamzah merasa suasana sedikit canggung sekarang. Dia mencuri pandang ke arah wajah Rizwar, ragu mencari topik namun enggan membiarkan kecanggungan menguasai mereka.

"Kenapa liat papa?" Rizwar lebih dulu sadar. Tuntas mengerjakan kegiatannya memotong kuku sang putra, pria itu kini hanya balik menatap Hamzah.

"Pa, dulu gimana caranya papa ngelamar mamah?"

"Hmm?" Rizwar sedikit terkejut dengan pertanyaan Hamzah. "Mama?"

"Mamah, mamah Iva."

"Oh mamah."

Diam-diam Rizwar menghembuskan nafas pelan, tangannya menarik lengan kanan Hamzah, memijatnya pelan.

"Ya dilamar."

Hampir-hampir Hamzah mendengus kesal kala menyahut cepat, "Bukan...maksudnya kan papa udah punya mama Hera, mamah gak keberatan?"

Sebenarnya, Rizwar kurang paham kemana Hamzah akan membawa percakapan ini. Apa Hamzah sedang memulai protes karena ibunya menerima lamaran seorang pria yang sudah beristri, atau memang anak itu hanya murni bertanya. Tapi pada akhirnya Rizwar mulai memutuskan untuk menjawab apa adanya.

Penyangkalan (Complete)Where stories live. Discover now