2.23 Singa Yang Menyerah

667 59 3
                                    

Desisan pelan lolos dari mulut Hamzah. Sejenak lelaki itu menggerutu karena udara malam ini cukup dingin, padahal dia sudah memakai jaket dan celana jeans panjang. Kakinya terus melangkah ke parkiran mall, sekilas tatapannya tertuju pada bangunan Rumah Sakit yang letaknya berseberangan dengan mall yang baru dia tuju. Hamzah tersenyum miris, menyadari tempat itu adalah tempat yang sering dia kunjungi akhir-akhir ini.

Baru saja Hamzah menjalankan motornya berniat pulang, dia mendadak tidak ingin segera pulang. Lelaki itu memacu motornya lebih kencang, putar balik di celah terdekat, mengarahkan motor menuju kedai kopi populer yang tidak jauh dari mall yang baru saja dia kunjungi.

Rasanya, sudah lama sekali Hamzah tidak bersantai di luar seperti ini. Dulu dia sering keluar seperti ini. Terkadang sendirian, atau bersama Rifky, terkadang dengan teman-teman Rifky juga. Atau saat Rifky sudah berada di Singapura, Hamzah masih memiliki teman-teman dari klub underground jika ingin keluar dan berkumpul bersama. Namun sejak dia sakit dia nyaris tidak pernah menikmati hal semacam ini. Kecuali saat dia masih di Singapura bersama Rifky. Selain itu dia jarang keluar, kalaupun keluar seringkali bersama orang tuanya. Rasanya sedikit menyesal kenapa dia jarang menikmati waktunya akhir-akhir ini.

Pikiran Hamzah melayang, dia memikirkan orang-orang di klub underground. Beberapa yang dekat dengannya seperti Bobby dan Arvan tahu tentang kondisinya yang sebenarnya. Yang lainnya -- setahu Hamzah -- ada beberapa yang tahu kalau dia sakit, hanya sakit. Setidaknya menurut pengakuan Bobby, dia hanya akan mengatakan Hamzah sakit atau sibuk tanpa menjelaskan lebih jauh jika ada yang bertanya.

Hamzah menyesap minumannya pelan-pelan. Pandangannya mengedar ke sekeliling, melihat sekumpulan orang yang bercanda riang. Seorang gadis yang sibuk dengan laptop dengan earphone melekat di kepalanya. Sepasang muda-mudi yang tertawa di sela obrolannya, atau pada tiga orang gadis yang berbicara dengan raut serius hingga dua orang lelaki yang duduk bersampingan dan sesekali berdiskusi sambil menunjuk layar laptop masing-masing. Bahkan pelayan yang lewat pun dia perhatikan. Dari yang tersenyum ramah ketika menghadapi pelanggan hingga menghilangkan senyum itu dengan cepat ketika berbalik atau yang terang-terangan menunjukkan raut lelah saat bercakapan dengan rekan sesama pelayan. Mendadak Hamzah menilai ekspresi wajah mereka, menerka apa yang mereka pikirkan, memikirkan hidup seperti apa yang mereka miliki. Setiap orang pasti memiliki masalah bukan? Apa mereka tetap tersenyum dan tertawa jika tidak bersama orang lain? Apa mereka selalu menemukan hal yang tepat untuk membuat energi mereka terisi? Misalnya saja dengan berkumpul dan bercanda seperti orang-orang di pojok ruangan itu atau dengan bertemu teman seperti tiga orang gadis di dekatnya itu.

Satu jam lebih Hamzah duduk di sana dan terus berpikir. Tentang hidupnya dan hidup orang-orang di sekitarnya. Hingga ponselnya yang berkedip-kedip membuat perhatian Hamzah teralih. Nama sang ayah tertera di sana, Hamzah segera mengangkatnya.

"Halo?"

'Halo, masih di luar kamu Za?'

"Iya, kenapa?"

'Papa pengen puthu.'

"Hah? Papa mau cucu?" dahi Hamzah mengernyit, mendadak blank.

'Bukan puthu itu! Kue puthu! Mampir beli.'

Hamzah menggerutu, mampir katanya? Yang ada dia yang menghampiri penjual puthu yang dimaksud sang ayah.

"Kejauhan mampirnya," dumal Hamzah.

'Eh?'

"Iya iya, udah aku kesana dulu."

*

Dan disinilah Hamzah sekarang, antri di sebuah kedai puthu demi membelikan titipan sang ayah. Dia sedikit menggeser tubuh ke belakang saat ini, menunggu pesanannya selesai dibuat. Pandangan Hamzah masih mengamati sekitar, melihat pembeli, mengamati penjual yang setia tersenyum dan dengan santai melayani pembeli, diiringi candaan sesekali.

Penyangkalan (Complete)Where stories live. Discover now