2.24 Halusinasi

631 49 1
                                    

Mata Hamzah memicing mencoba fokus menatap sosok yang hampir membuka pintu kamarnya. Mulutnya terbuka bersiap memangggil. Namun terlambat, sosok yang dia lihat sudah terlanjur keluar dari ruang rawat.

'Ya udah, nanti aja,' batin Hamzah.

Lelaki itu tidak dapat menahan senyumnya. Akhirnya kakaknya datang.  Sudah beberapa hari ini dia menunggu Hatta dan akhirnya hari ini Hatta datang.

Omong-omong kapan Hatta sampai di Malang? Ini masih cukup pagi menurut Hamzah. Masih sekitar pukul delapan dan kakaknya sudah ada di sini. Apa Hatta datang sejak semalam? Tapi kenapa tidak ada yang memberitahunya semalam? Tidak mungkin bukan keluarganya merancang kejutan seperti drama untuknya dengan niatan memberi kejutan pagi hari kepada Hamzah. Dengan merahasiakan kedatangan Hatta lalu membuat Hatta menjadi orang pertama yang Hamzah lihat ketika bangun tidur. Itu tidak mungkin.

Atau Hatta baru datang pagi ini dan langsung menuju rumah sakit? Terdengar bukan tipikal Hatta sekali. Mana mungkin Hatta mau repot-repot menuju rumah sakit lebih dulu hanya untuk melihat keadaan adiknya.

Ah entahlah. Apapun itu, yang penting kakaknya sudah datang. Rasanya Hamzah ingin sekali berbincang dengan Hatta. Perlahan tangan Hamzah mencengkeram ujung seprei, mendadak merasa gelisah memikirkan sikap apa yang akan kakaknya berikan nanti ketika dia berhadapan dengan kakaknya itu. Reaksi semacam apa yang akan dia hadapi? Perlakuan macam apa yang akan dia terima? Dia sudah mengotori keturunan Renaldy dengan orang penyakitan sepertinya.

Tapi kemudian Hamzah menghela nafas dalam, membujuk diri sendiri. Meyakinkan diri bahwa kakak tidak tahu. Ya, kakaknya tidak tahu bahwa dia terkena kanker. Kakaknya hanya tahu bahwa dia sakit. Dia aman.

Gak papa, bujuk Hamzah pada diri sendiri. Dia kembali memejamkan mata. Padahal dia baru saja bangun, tapi entah kenapa rasanya lelah sekali pagi ini.

*

Menjelang siang. Itu mendekati pukul sepuluh ketika Hera tengah menunggui Hamzah di ruangannya. Masih berusaha menawari Hamzah beberapa makanan yang mungkin ingin dia makan mengingat Hamzah menolak makan apapun sejak tadi.

Sementara Hamzah masih menimbang. Dia sudah sangat ingin bertemu dengan Hatta, tapi kenapa kakaknya itu tidak kunjung kembali ke ruang rawat? Apa mungkin Hatta pulang ke rumah? Atau jangan-jangan sudah pergi lagi, sudah meninggalkan Malang tanpa menunggunya membuka mata.

Dugaan terakhir membuat Hamzah sedikit resah.

"Ma?" panggil Hamzah, memutus kegiatan Hera yang tengah berkutat dengan ponselnya -- menelusuri internet untuk mencari pilihan makanan yang bisa diberikan pada pasien yang tidak memiliki nafsu makan.

"Hmm?" Hera mendongak, menatap Hamzah, setengah berharap anak itu sudah tahu apa yang ingin dia makan pagi ini.

"Mas Hatta tadi kemana lagi?"

Namun begitu mendengar pertanyaan itu kening Hera mengernyit, menciptakan gurat halus di wajah tegasnya. Dia meletakkan ponsel, sepenuhnya fokus pada Hamzah.

"Mas Hatta?"

Hamzah mengangguk tidak sabar, "Tadi mas Hatta kemana? Kok gak balik-balik? Pulang?"

Hera masih dilanda kebingungan, namun otaknya berpikir cepat, mengambil kesimpulan bahwa putranya kembali berhalusinasi pagi ini.

"Gak ada mas Hatta sayang, mas belum dateng," ujar Hera lembut.

"Tadi ada!"

Teriakan Hamzah membuat Hera sempat tersentak kecil. Sementara Hamzah tengah kebingungan, ketakutan. Dia menyadari satu hal, satu yang justru membuatnya tidak nyaman. Bahwa sosok Hatta yang tadi pagi dilihatnya hanya halusinasi. Dan Hamzah tidak ingin mengakuinya dengan mudah. Dia benci itu.

Penyangkalan (Complete)Where stories live. Discover now