5. ZH | Semesta Mempertemukan Mereka

19.4K 1.5K 153
                                    

ZERO HEART
_____

yellowbii_

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Aku bisa melakukannya sendiri," kata Nesya pelan.

Denia mengangguk-angguk. "Baguslah kalau gitu."

Nesya menatap gadis itu. Tatapan yang meneduhkan. Siapa pun yang melihat, kedua bola mata itu akan menjeratnya ke dalam.

"Sebelumnya aku ingin berterima kasih karena kamu udah nolongin aku dari kedua preman itu dan membelikan obat ini. Kalau aku punya uang lebih dari hasil part time, pasti aku akan menggantinya. Tapi, aku nggak janji bisa mengembalikannya dalam waktu dekat."

Oh, dia part time juga? inner Denia.

"Nggak usah. Udah gue bilang masalah biaya lo nggak perlu khawatir. Anggap aja lo yang beli sendiri, pakai duit sendiri," tutur Denia.

"Enggak!"

Denia mengernyitkan dahi. Merasa heran dengan sikap gadis itu. Mengapa dia berteriak? Asal dia tahu, Denia nyaris terlonjak kaget gara-gara dia berteriak seperti itu.

"Maaf, aku nggak bermaksud begitu. Tapi, aku harus mengembalikan uang yang kamu gunakan untuk membeli obat ini. Aku nggak mau merasa terbebani karena aku nggak bisa membalas kebaikan orang lain. Dan, aku nggak mau memiliki utang terhadap orang itu meski dia tidak menganggap itu adalah utang yang harus dibayar."

Entah, ini perasaan Denia saja atau memang gadis itu pada dasarnya memiliki sikap lain? Untuk pertama kali Nesya sedikit ekspresif. Selama di sekolah, dia selalu memasang wajah datar. Tak jarang dia melihat kedua matanya menyorot kosong. Tidak ada sedikit pun kehidupan.

Denia tahu? Tentu saja. Anak itu selalu duduk sendiri di pojok kantin dengan sorot mata demikian. Terkadang, dia suka mencuri pandang ke arah gadis itu.

"Terserah lo aja. Gue juga nggak anggap itu utang yang harus dibayar." Denia meraih ponsel di bawah kaki. Benda pintar itu belum sempat terambil setelah ia melempar ke dashboard.

Tangan terjulur ke bawah sempat Nesya perhatikan. Tangan yang sebelumnya pernah tersiram kuah soto karena dirinya.

"Aku minta maaf."

"Untuk?"

"Tangan kamu." Nesya menunjuk tangan itu. Dalam posisi tubuh yang sedikit menunduk, ekor mata Denia mengikuti arah telunjuknya. Dan, itu mengarah tepat pada tangannya yang masih terbalut kasa.

Sebenarnya bisa saja Denia langsung memarahi Nesya sekarang juga. Tetapi, karena sibuk dengan pemikirannya, ia sampai melupakan hal sepenting itu.

Bisa saja mulut ini memaki dengan puas, karena sudah berani-beraninya membuat kulit tangannya seperti ini.

Dan, tahu apa yang telah terjadi? Kata-katanya tertahan. Lidahnya mendadak kelu. Dia tidak bisa menyuarakan makiannya. Kalimat yang hendak dilontarkan terbang terbawa angin lalu menghilang begitu saja. Denia tidak menyukai perasaan ini. Dan, bukan pertama kali Denia merasa aneh. Sebelumnya, perasaan aneh ini sudah menghinggap di hati beberapa hari yang lalu.

Perasaan enggan melukai gadis itu.

"Oh, tangan gue bentar lagi sembuh."

Ah, sial! Mengapa harus kalimat itu yang keluar dari mulutnya!? Dia kan tidak menanyakan kondisi tangannya. Cih. Terdengar seperti ingin mengakrabkan diri dengan Nesya.

Zero Heart Onde histórias criam vida. Descubra agora