Empat

125K 2.8K 166
                                    

Ceklek cklek

Kara mengunci kamarnya dua kali.

"Aman."

Kara berbalik menghadap Fatih. Dipandangnya sosok pria yang sejak awal tak disukainya itu. Tapi entah kenapa, setelah ciuman yang mereka lakukan secara tak sengaja minggu lalu, pandangan Kara terhadap Fatih berubah.

"Mas Fatih."

"Mas." Fatih hanya berdehem menanggapi panggilan Kara. Matanya tetap menatap ke arah lain. Pokoknya dia nggak mau lihat Kara.

"Nggak sopan lho mas dipanggil tapi nyautnya gitu." Kara manyun. Tangannya memainkan ujung kemeja putih yang dikenakannya.

"Ke-kena-pa?" Fatih menatap Kara sekilas, tapi langsung mengalihkan pandangannya kembali.

"Ka-kara mau nga-ngapain?" Fatih tergagap-gagap saat melihat Kara berjalan mendekatinya sambil melepas kancing kemeja yang dipakai.

"Mau ganti baju. Mau ngajak Kara pergikan?"

"E-Eh??" Fatih linglung. Bukan itu tujuan dia ke sini.

"Bu-bukan." Suara Fatih yang lebih seperti bisikan hanya terdengar samar-samar oleh Kara.

" Apa mas? Mas Fatih bilang apa?"

"Kok pucet sih? Mas sakit? Sini, mas baring sini aja." Kara membawa Fatih agar berbaring di ranjangnya. Salah. Tapi memaksa Fatih agar berbaring di ranjangnya. Entah tenaga dari mana dia bisa mendorong tubuh Fatih yang lebih besar darinya.

"Ng-nggak. Nggak u-sah." Fatih mencoba bangkit. Tapi Kara menahannya.

"Nggak papa. Tiduran aja dulu. Bentar ya, Kara panggilin si mbok buat bawain mas teh anget sama obat." Kebiasaan kalo lagi malas teriak atau keluar, nyuruh lewat telephone.

Selesai menyebut keinginananya, Kara meletakkan handphonenya di meja rias. Kembali menuju lemari besar empat pintu. Dibukanya pintu yang paling kanan. Kebanyakan berisi dress selutut. Diambilnya satu dress yang dianggapnya cocok dengan kemeja yang dikenakan Fatih saat ini.

"Gimana?" Fatih yang sudah kembali duduk hanya mengerjapkan matanya. Tak paham maksud Kara.

"Gimana mas? Bagus nggak kalo aku pakai ini?"

"Eh? Emmm...itu..." Fatih tidak tau harus menjawab apa. Dia tidak pernah diberi pertanyaan seperti ini. Dia anak tunggal. Ibunya tak pernah meminta pendapatnya soal pakaian. Dia juga tak terlalu dekat dengan sepupu-sepupu perempuannya.

"Nggak bagus ya? Iya sih emang yang ini rada gimana gitu." Kara kembali menghadap lemari yang pintunya masih terbuka. Kembali memilih.

Kini pilihannya jatuh pada dress model sabrina biru putih yang panjangnya hingga lutut.

"Kalo ini gimana?"

"Ter-terserah ka-mu." Fatih mulai bisa mengontrol diri. Meskipun masih gagap. Setidaknya dia bisa langsung menjawab.

"Oke. Aku pake baju ini."

Kara melepas sisa kancing kemejanya yang belum terbuka. Langsung melepas tanpa bersusah payah ke kamar mandi. Bajunya pernah jatuh dan basah saat dia ganti di kamar mandi. Sekarang dia jadi malas kalo harus ganti di sana, kalo nggak terpaksa.

Fatih menunduk. Kara yang kepala batu tidak mengindahkan perintahnya untuk tidak mengganti baju di depannya. Kadang dia kesal karna kalah dengan sosok yang lebih muda darinya ini.

"Mas, ini susah bukanya." Kancing paling bawah terasa sulit dibuka. Sebenarnya bisa saja ditarik paksa, dengan resiko kancingnya bisa terlepas. Tapi Kara malas harus jahit kancing secara manual.

SuamiKu PemaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang