Part 3

60 3 1
                                    

"Itu adalah namaku". suara-nya terdengar gagah. Aku menoleh kebelakang, dia tersenyum getir menatap balok yang Aku pegang. Aku refleks melemparkan kearah-nya namun dia menangkapnya dengan mudah, diraba balok itu dan tiba-tiba balok itu kembali seperti baru. Aku mundur satu langkah, jantungku berdegup cepat.


"Kau tak perlu takut Nak, Aku tak akan membahayakan mu". Ujarnya, dia memakai baju berseragam coklat seperti seragam pramuka namun terlihat berbeda dan kusam. Ia memakai pesut  dan banyak pin di dadanya. Salah satunya bertuliskan Letkol.

 Dia berdiri mendekatiku, tatapannya meneduhkan. Membuatku serasa lebih rileks, namun wajahnya masih menyiratkan kesedihan mendalam. Dia bilang, Aku tersesat namun ada alasannya, dia bilang. Aku yang terpilih untuk mengingatkan sejarah Tanah Bojongkokosan yang terhubung dengan peristiwa Bandung Lautan Api.


"Cerita itu dimulai dari 4 bulan setelah kemerdekaan, Aku berpangkat sebagai letnal kolonel wilayah Sukabumi, kukira setelah merdeka akan ada kedamaian tetapi mereka menyerang kembali dengan dahsyatnya. Mereka melakukan gencatan senjata dan memborbardir Cibadak, tak cukup disitu ternyata ada tambahan pasukan konvoi terpanjang. Hingga 12km, arena perang terjadi dari daerah Cigombong(Bogor) sampai Ciranjang. Mata-mata pasukanku mengabarkan bahwa mereka ingin menghancurkan Bandung, Aku segera melaporkannya kepada Bupati Sukabumi. Kami bedebat panjang lebar dan akhirnya diputuskanlah bahwa kami akan menyerang habis-habisan disini, Bojongkokosan. Aku menarik semua TKR untuk bersembunyi disini".


Dia menunjukkan jalan berbatu, memang disitu jalannya seperti diapit oleh dua tebing tinggi penuh pepohonan--seharusnya sekarang jalan ini sudah diaspal, Aku menelan ludah dan tidak menghiraukannya.


Sementara disisi lain...


"Dita! Sri menghilang!". Farisha berteriak mengenggam lebih erat tangan Dita.


"Hah tidak mungkin, lihat! Disekitar kita seperti hutan belantara. Kemana perginya tenda-tenda yang lain? Apakah Sri memiliki kekuatan?".


"Aku akan mencoba menyuruh burung, atau binatang lain untuk mencarinya". Farisha mengeluarkan suara kicauan burung. Tak memakan waktu lama, burung hantu bertengger di tangannya, dia seperti berbicara dengan burung itu dan burung itupun pergi.


"Aku harap burung itu bisa menemukan Sri, maaf Farisha. Lagi-lagi Aku tak bisa melakukan apapun sekarang. Aku menyesal tidak berlatih lebih lama dengan nenek Mio". Dita menunduk.


"Iya, tak apa Dit. Kemampuanmu mengendalikan air sudah menyelamatkan nyawaku waktu itu. Jangan hiraukan perkataan nenek Mio bahwa kamu lebih dari itu, biarkan kekuatanmu mengalir dengan sendirinya". Farisha menghibur Dita.


5 menit berlalu, mereka hanya terdiam dan berdo'a karena percuma jika mereka jalan-pun tetap akan kembali ke tempat yang sama,  Ada yang Menutup jalan mereka.


"Dita! Farisha...! tenanglah Aku tidak apa-apa, Aku baik-baik saja. Tunggulah disitu, Aku akan kembali. Maaf, Aku merahasiakannya. Aku bisa menggunakan telepati". Suara itu terdengar di dalam benak mereka, mereka terkejut. Namun bersyukur dan lebih tenang.


***


"Aku tahu, kau telah diam-diam menggunakan kekuatanmu untuk melakukan telepati, benar? Kemampuan berbicara kedalam benak hati orang lain". Dia tersenyum kepadaku, Aku heran kenapa dia mengetahuinya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 03, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Power of SundaneseWhere stories live. Discover now