S2 | sembilan

590 107 49
                                    

Didin jelas melongo mendengar jika orang yang kini mengulurkan tangan padanya itu mengaku jika ayah kandung dari Lukman--Lenno, sahabatnya.

Buru-buru ia mengelap tangannya--yang sebetulnya bersih--sebelum membalas jabatan tangan Rama.

"Boleh saya duduk disini?" Tanya Rama sembari menunjuk kursi panjang tempat tadi Didin duduk.

"Boleh, Pak. Boleh. Silahkan."

Yang lebih dewasa pun terseyum simpul lalu menjelaskan apa yang mendasarinya datang ke tempat Didin berjualan.

"Saya dengar kamu pernah nyupir angkot sebelum ini bersama Lenno. Benar?"

"Lenno?" Didin lupa dengan nama asli Lukman yang itu.

"Ah, maksud saya Lukman."

"Oooohh... Lukman?! Iya, Pak. Dulu saya nyupir angot, Lukman yang jadi kenek-nya, sebelom kita kena tilang gara-gara masuk ke jalur Busway." Jawabnya dengan jujur membuat Rama tertawa ringan.

"... kalo boleh tau, ada apa emangnya ya, Pak?" Lanjut Didin.

"Emm... gini. Saya mau menawarkan kamu pekerjaan. Apa kamu mau?"

"Kerja?" Didin menautkan alisnya bingung.

"Iya, kerja. Jadi supir pribadi anak saya, terutama Lenno. Mau?"

Yang lebih muda terdiam sesaat seolah berpikir. Namun setelah Rama menyebutkan nominal gaji yang akan diterimanya ia pun langsung menjawab setengah berteriak dengan antusias.

"MAU!!"

Dan Rama agak terperanjat kaget mendengarnya. Tapi ia kemudian tersenyum dengan luas.

"Wah, bagus sekali jika kamu mau. Kebetulan ini memang keinginan Lenno sendiri."

"Eh? Maksud Bapak?"

"Kami memang sedang mencari sopir untuk mengantar Lenno kemana-mana tapi yang juga bisa menjaga dan menemaninya selama di rumah. Kamu mau kan?"

"Jadi, saya juga harus tinggal di rumahnya Bapak dong?"

"Ya, begitulah." Rama mengangkat sebelah bahunya.

Didin terdiam sesaat kembali berpikir. Jika memang harus tinggal bersama Rama di rumahnya ia tentu mau, hanya saja bagaimana dengan ibu dan adik-adiknya di rumah?

"Anu, Pak. Boleh saya minta izin dulu gak? Masalahnya adek sama Ibu saya harus tau soal ini dulu." Tanyanya.

"Oh, boleh. Tentu saja boleh."
"... kalau kamu setuju dengan ajakan saya, ini kartu nama saya. Nanti kamu hubungi saja nomer yang ada disitu." Rama memberikan selembar kertas kecil pada Didin dan menunjukan sebaris angka yang diyakini jika itu adalah nomor teleponnya.

"Oh. Baik, Pak. Nanti saya hubungi Bapak." Jawab Didin setelah menerima kertas tersebut.

Setelahnya Rama pun bangkit dan mengucapkan terima kasih pada penjual gorengan tersebut lalu pergi berlalu dengan mobil hitamnya.

🍁🍁🍁

Hari libur datang lagi. Dua hari dalam seminggu dan hanya mereka habiskan di dalam rumah untuk sekedar quality time berkumpul bersama keluarga. Sungguh harmonis.

"Kak, udah disini aja, Kak." Lenno menepuk bahu Bara, memintanya untuk menurunkannya di gazebo dipinggir kolam renang. Dan seketika itu juga Bara menurunkannya.

Sungguh, kakaknya itu selalu bisa membuat wajahnya bersemu memerah karena malu. Saat ia sedang asik menonton tv, mendadak Bara datang dan menariknya. Bukan hanya itu, ia menggendong Lenno di depan dengan posisi ala bridal, yang justru membuat adiknya itu memekik kaget. Dan disertai cekikik tawa usil dari si bungsu yang melihat mereka bak pengantin baru.

About My Brother ✔ [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang