S2 | sembilan belas

454 89 33
                                    


Seberapa hancur hati Rama saat ini? Sehancur kapal karam yang diterjang gelombang dengan badai ditengah lautan lepas. Porak poranda tak bersisa.

Hancur saat melihat amanat yang diberikan sang istri padanya kini kembali berbaring di dalam ruangan gawat darurat. Dengan kondisi tak ada bedanya dengan kelinci percobaan di laboratorium. Dimana banyaknya tangan-tangan berseragam mengambil alih tubuhnya, melakukan berbagai tindakan medis padanya.

Seberapa hancur hati Rama yang kini hanya bisa melihat kondisi anaknya dari balik pintu kaca tanpa bisa melakukan apa-apa? Melihat orang-orang itu memasukan jarum-jarum dalam tubuh Bara, serta merta selang-selang aneh ke dalam mulutnya yang dipaksa terbuka.

Oh, sungguh! Hati Rama hancur saat ini juga. Suara-suara di dalam ruangan itu tak bisa didengarnya, tapi jelas bisa dirasakan dalam hatinya. Pandangannya jelas menangkap kegaduhan didalam sana. Menangkap jika sang dokter beberapa kali nampak kewalahan dengan raut wajah yang begitu khawatir pada kondisi pasiennya kini.

Datangnya Anika yang nampak cemas disertai omelannya yang kecewa pada sang suami pun tak bisa ditangkap baik rungu Rama.

Ia tenggelam dalam samudera terdalam dipikirannya. Tenggelam dalam rasa cemas dan penyesalan karena sudah memberikan izin pada anaknya itu untuk ikut serta bekerja dengannya.

Andai Rama tahu jika Bara akan kembali masuk ruangan ini, jelas ia akan menolaknya seketika seperti yang Anika lakukan. Tak peduli jika Bara akan marah padanya, asalkan anak itu baik-baik saja sudah membuat Rama lega.

"Aku bener-bener kecewa sama kamu, Mas."

Tangis Anika tak lagi bisa dibendung. Dengan lemas ia hanya bisa duduk di kursi ruang tunggu sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan seraya menyembunyikan isakan yang semakin menjadi-jadi.

Lunglai, Rama mendudukan dirinya di sebelah sang istri dengan wajah pucat pasi. Tak bisa lagi menahan bagaimana rasa bersalah semakin mengoyak hati.

Bahkan William yang ikut serta mendampingi tak ada bedanya dengan benda mati yang tak berarti.

"Pak, sebaiknya Bapak mengambil wudhu saat ini. Sudah masuk waktunya shalat ashar." Ujarnya mengingatkan sang atasan.

Teringat kembali ucapan William sebelum ini padanya.

Jika memang tak ada lagi bahu untuk tempat sekedar bersandar, masih ada sajadah untuk tempat bersujud.

-----

Dan disinilah, saat inilah waktu yang tepat untuk Rama mengadukan seluruh keluh kesahnya diatas hamparan sajadah.

Dalam sujudnya.

Dalam sujud yang dilamakannya itu, Rama menangis, menjatuhkan air matanya dengan serangkaian doa yang ia panjatkan kepada Sang Pencipta alam semesta, meminta serta merta kesembuhan dan kesehatan pada anak serta seluruh keluarganya, memohon pengampunan atas segala dosa yang pernah dilakukannya.

Hanya satu yang ia pintu untuk saat ini dan seterusnya, yakni kesehatan seluruhnya pada sang putra tercinta, Bintang Albara Mahesa.

🍁🍁🍁

Waktu berlalu dengan cepat tanpa mau menunggu barang sejenak untuk tubuh yang semakin mengurus itu agar bisa kembali merasakan dunia.

Waktu tak pernah berpihak pada siapapun. Ia terus bekerja sebagaimana Tuhan menciptakannya. Terus berputar tanpa lelah dari sang fajar yang mulai menyingsing di ufuk timur hingga terbenamnya sang senja diujung barat.

Mengukir kisah setiap insan yang masih menghembuskan napas dengan berpijak diatas bumi, tanpa tahu apa yang akan menyapa mereka nanti.

Karenanya kematian adalah sosok hantu yang jelas nyata. Dan kedatangannya tak pernah selalu bersambut baik oleh semesta.

About My Brother ✔ [Banginho]Where stories live. Discover now