Botol kutukan

864 23 0
                                    

Cerita ini adalah revisi dari judul sebelumnya yang berjudul jinnie in the bottle.

Happy reading!!!

****

Dua orang lelaki berpakaian serba hitam berjalan terseok-seok mencapai tebing yang terjal dan curam. Sejauh mereka berjalan, hanya ada pepohonan dan bayangan hitam mengiringi langkah mereka. Gelapnya hutan menghalangi pandangan hingga beberapa kali kaki renta mereka tersandung kemudian mereka terjatuh dengan menyakitkan. Semakin menambah banyak luka yang sudah  mereka sebelumnya.

Luka-luka di tubuh mereka sudah tak terhitung. Luka akibat berkelahi dengan hewan buas, atau akibat terjatuh di  tanah yang licin dan lembab. Rupa mereka terlihat mengerikan karena darah yang terus menetes, tapi hal itu tak menyurutkan langkah mereka mencapai tujuan mereka.

Nun jauh di atas sana, sayup-sayup terdengar gemuruh ombak laut yang menerjang batu dengan keras. Lengkingannya membuat bulu kuduk siapa pun merinding ngeri. Tak terkecuali dua orang pria paruh baya itu. Langkah kaki mereka terhenti beberapa detik, hingga mereka menyadari raut wajah masing-masing yang semakin pucat.

"Itu suara lautan. Artinya kita sudah dekat."

"Kau yakin?"

"Tentu saja. Ayo, kita lebih cepat lagi."

Tubuh yang sudah kelelahan seperti mendapat suntikan vitamin karena tujuan mereka semakin dekat. Mereka kembali bersemangat melanjutkan perjalanan untuk membuang benda terkutuk yang tak pernah bisa hilang itu ke dalam lautan. Hanya itu satu-satunya cara yang mereka kira akan berhasil, setelah sebelumnya dibakar pun botol itu tak mempan.

Botol setan, begitu mereka menyebutnya. Sudah membuat hidup mereka dalam ketakutan. Begitu banyak teror dan kematian. Dan kini, mereka bertekad untuk membuang benda itu ke lautan.

Mendadak hujan turun dengan deras, padahal tidak ada tanda-tanda bakal ada hujan sebelumnya. Tubuh mereka yang sudah kelelahan, bertambah lemah karena kedinginan. Pekikan suara ombak kembali menjerit bersahut-sahutan dengan teriakan petir membuat ketegangan menyelimuti saraf-saraf tubuh. Sesaat mereka saling pandang dengan ngeri

"Mad, saya takut. Sepertinya mereka tahu apa yang akan kita lakukan. Bagaimana ini?" Lelaki berambut pendek itu bergetar. Sedari awal ia memang menolak melakukan ini, tapi temannya ini memaksanya ikut.

"Anggap aja kita gak denger apa-apa. Ayo cepat, sebelum purnama menghilang atau dia akan meneror kita selamanya."

"Kau yakin cara ini berhasil? Bagaimana kalau gagal lagi?"

"Jangan pesimis. Menurut mbah Wiryo, ini adalah satu-satunya cara yang belum di coba. Mengembalikan botol ini ke habitatnya."

"Tapi?"

"Kita tidak akan tahu kalau tidak pernah mencoba."

"Baiklah kalau begitu."

Mau tak mau lelaki bernama Juki itu mengikuti apa kata Somad. Somad benar, kata mbah Wiryo, orang pintar yang mereka datangi hanya ini satu-satunya cara untuk melepaskan terror yang menghantui mereka selama ini.

Walau terhalang tanah yang licin karena curah hujan yang tak jua reda dan kegelapan yang pekat di sekeliling mereka, mereka tetap melangkah maju. Sayup-sayup pekikan hewan melengking semakin menambah ciut saraf-saraf tubuh mereka. Jalan setapak yang mereka lalui, penuh duri dan ranting yang tajam. Darah menetes dari kaki mereka yang tak menggunakan alas kaki, karena sepatu mereka terlepas saat mereka mendaki jalanan yang terjal ini.

"Lihat, Mad. Itu tebingnya. Sebentar lagi kita sampai."

"Iya, Juki. Ayo, kita naik lagi."

Semangat yang sempat redup kini kembali menyala. Tak terasa Juki tiba lebih dulu di dekat tebing. Menyusul Somad di belakangnya. Saat hendak menaiki jalan setapak yang menanjak menuju puncak tebing, tiba-tiba Somad tergelincir. Ia menjerit kencang.

"Jukiiii .... "

Juki terkejut, sontak ia membalikan badan hendak mengejar Somad turun, tapi Somad berteriak.

"Aku gak papa. Kamu cepat buang tuh botol, waktunya sebentar lagi." Somad berteriak kencang, seiring tubuhnya yang terus meluncur turun ke dalam kegelapan. Tubuhnya menabrak pepohonan di kanan kirinya, namun anehnya tubuh itu tak berhenti. Terus meluncur turun ke bawah tebing.

Juki panic, ketakutan mulai merayapi pikirannya. Ia yakin apa yang menimpa mereka saat ini adalah ulah mahluk sialan yang ada di dalam botolnya. Mahluk itu ingin menyingkirkan mereka. Juki sadar, ia tak boleh menyerah saat ini atau dunia ini akan kacau balau gara-gara botol ini.

Debur ombak tinggi menerpa tebing, airnya tumpah membasahi tubuh Juki. Ia bahkan nyaris terseret juga ke bawah. Untunglah ia berhasil memegangi akar pohon yang melintang di sana. Tertatih, ia kembali mencapai puncak tebing seorang diri, ditemani kegelapan yang menyakitkan matanya. Namun ombak kembali datang menghantam tebing, mendorongnya semakin jauh ke bawah tebing. Ia kembali terhempas, untunglah sebuah akar pohon yang memang banyak terdapat di sana, menahan tubuhnya. Sekuat tenaga ia berpegangan pada akar pohon sampai air surut.

Juki memandang ke langit, bulan purnama sedikit lagi berakhir. Ia tidak punya waktu banyak. Nekad, Juki terbangun menerjang genangan air yang tak jua surut, seakan hendak menyeretnya kembali ke bawah. Jaraknya dan laut tinggal 30 meter. Ia tidak akan bisa mencapai puncak tebing dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya cara, ia harus melempar botol itu.

Suara ombak seperti gempa tsunami yang dahsyat, kembali menggelegar. Air laut itu kembali menghempaskan tubuh Juki ke belakang. Namun bersamaan itu, Juki melempar botolnya ke dalam air yang menyerangnya. Botol itu pun melayang di udara.

"Arrgh..."

Suara debur ombak seketika melengking semakin pekak bersahutan, disusul jeritan petir. Tubuh Juki terpental ke bawah jurang, menemani jasad Somad yang sudah lebih dulu terbaring tak bernyawa.

Sementara debur ombak yang tinggi menghempas botol aneh itu ke daratan nun jauh di sana, menunggu jiwa-jiwa putus asa untuk membukanya.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang