2

92 5 0
                                    


Beberapa jam sebelumnya.....

Dua jam sebelum dijadwalkan berangkat ke Jakarta tepatnya jam dua siang, Reina bersama kedua temannya sudah berada di bandara Malpensa. Entah apa yang membuat mereka terlalu cepat berada di sana padahal keberangkatan jam empat sore, seakan takut di saat pesawat boarding atau ketika mempersilahkan penumpang naik ke dalam badan pesawat mereka bertiga sedang dalam perjalanan menuju bandara. Makanya, tidak ada salahnya sedikit lebih cepat berada di sana daripada merasakan bagaimana gondoknya saat ketinggalan pesawat, namun di sisi lain karenanya mau tak mau tanpa memilah siapa saja layak dirasuki sebuah rasa, rasa yang tak nyaman ditanggung beberapa saat ke depan―jenuh muncul begitu saja tanpa mengingatkan, dan itu wajar terjadi bagi mereka yang bingung membagi waktu.

Demi menghilangkan situasi yang membosankan, menunggu dan hanya menunggu―mereka bertiga menyibukkan diri dengan melakukan kegiatan masing-masing. Arta santai dengan buku yang dibacanya, Amanda terlalu sibuk bersama cermin di tangannya, sedangkan Reina.....

"Kamu mau ke mana, Rein?" tanya lembut Arta sambil menutup buku bacaannya yang sudah diberi pembatas halaman. Jodi Picoult adalah penulis novel favoritnya, sudah lima belas buku penulis itu dikoleksinya yang kebanyakan membahas tentang keluarga, hubungan pribadi, dan cinta. Arta bertanya sebab teman di sebelahnya, Reina tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya sepertinya ingin melakukan sesuatu.

"Aku mau duduk di sana, Ta." Jawab Reina pelan agak memelas sambil menunjukkan satu baris bangku kosong, tak jauh di belakang mereka.

"Kenapa nggak duduk di sini saja?"

"Aku inginnya tempat yang bisa membuatku sedikit lebih nyaman."

"Nyaman?" mencerna sejenak kata yang tidak relevan di mana posisi mereka sekarang hingga membentuk sedikit pola kerutan di dahi Arta, dan tampaknya memaksakan diri agar tetap terlihat sopan dan lembut. Namun, nyatanya perkataan tidak sesuai dengan sikap baik yang berusaha ditunjukkannya. "Ya, kalau kamu maunya begitu.....kenapa nggak balik ke hotel saja. Ini bandara. Wajar ramai seperti ini, Rein. Seolah-olah penyakit si tukang keluh menularimu."

"Aku nggak sebegitu bodohnya Arta, aku juga tahu ini bandara," balas Reina dengan menunjukkan wajah kurang sukanya terhadap perkataan temannya. Kenapa Arta tiba-tiba tampak begitu menyebalkan hampir menyamai Amanda, padahal dia gadis yang tidak mau menyusahkan orang lain, jangan-jangan dia kerasukan setan Italia. "Dan, kenapa juga disamakan dengan Amanda. Penyakitnya itu sudah permanen buat dia sendiri bukan buat ditulari atau dibagi-bagi, ini bukan sembako. Lagian nggak ada untungnya juga punya sifat 'keluh' yang ada malah menyusahkan orang lain."

Apa pun yang dikatakan Reina selagi belum memberi alasan yang masuk akal, Arta tetap mengajaknya bicara, mengharapkan suatu penjelasan dan berharap juga bukan karena dirinya Reina bersikap begitu. "Maaf Rein, bukan maksudku menyamakanmu dengan Amanda, hanya saja barusan kamu terlihat seperti mengeluh."

"Seperti mengeluh? Aku bukan mengeluh, cuma ingin duduk di belakang. Kepalaku sedikit pusing, Ta. Kepengen rebahan sebentar untuk ngilangin rasa pusing ini," bantah Reina dan tak ingin memperpanjang rasa kesalnya. "Sudahlah Ta, jangan dibikin susah. Duduk atau rebahan di belakang nggak akan menimbulkan masalah, kecuali kalau aku duduk di lantai bandara lalu tidur-tiduran, baru ini bisa dikatakan masalah bahkan sangat memalukan. Dan, nggak perlu setiap membahas persoalan harus menyamakan atau mengumpamakan seseorang, ujung-ujungnya melebar ke Amanda."

Sering kali Amanda dijadikan objek pembicaraan kedua gadis ini, lantaran tingkah lakunya yang bikin mereka geregetan. Ingin rasanya membungkam mulut si ratu keluh dengan lakban hitam, agar rentetan kesahnya cukup bersemayam di kepalanya tanpa perlu melibatkan telinga mereka.

Sepasang Topeng VenesiaWhere stories live. Discover now