9

53 4 0
                                    


Malam ini, malam berbalutkan sepi tidak seperti malam-malam sebelumnya yang sedikit tidaknya ada gurauan, canda tawa maupun guyonan konyol mendera ruang berkumpulnya segala sifat, dan juga ruang yang mau menerima segala problema. Namun kini, sesaat, tapi tak tahu pasti sampai kapan ruang berbentuk persegi memanjang ke samping harus merelakan si pelengkap kebersamaan berlayar jauh ke negeri seberang mencari peruntungan─peruntungan individu dan peruntungan buat dibagi bersama dalam skala besar.

Ruang keluarga, ruang berkumpulnya para penghuni rumah, benar-benar tampak seperti pemakaman umum, sunyi. Biasanya sehabis makan malam bersama, di ruangan ini akan terdengar suara televisi, dan suara majalah yang dibolak-balik serta suara percakapan yang mengundang gelak tawa. Mungkin, karena kesibukan padat yang barusan dilalui membuat 'penat' menyerang tubuh mereka. Jadi, saat ini tempat terbaik untuk melenyapkan 'penat', ruang tidur dengan merebahkan tubuh di atas ranjang lalu menutup kedua kelopak mata.

Namun, tidak bagi Reina, belum waktunya memejamkan mata. Dia masih ingin menikmati malam, meski bertemankan sepi di dalam kamarnya. Sebagaimana biasa, dia selalu meminta jari jemarinya menari di atas tuts tombol keyboard laptop tatkala suatu materi terlintas di pikirannya―dituangkan dalam sebuah tulisan yang membuatnya harus bermain serta meracik kata menjadi beberapa kumpulan kalimat, lalu ditempatkan dalam sebuah folder khusus menyimpan kumpulan tulisannya.

Reina sebenarnya juga memiliki ketertarikan terhadap buku, tapi tak serajin Arta bila disangkutpautkan dengan aktivitas membaca. Tidak harus menyelesaikan bacaannya dalam sehari, dua atau tiga hari maupun lebih dikarenakan rasa penasaran terhadap isi buku yang terus berkelanjutan, yang dia butuhkan ruang dan waktu baginya untuk memahami dari isi bacaannya―perkalimat, perparagraf, atau perhalaman, lebih-lebih per-bab karena bacaannya bukanlah fiksi, maupun bacaan ringan―sekali dibaca langsung dipahami.

Bacaan mereka berdua saja berbeda, Reina lebih cenderung dengan buku non fiksi, yang isinya berdasarkan data, fakta, dan penelitian yang membutuhkan kekuatan pikirannya untuk memahami kebenaran dalam tulisan. Dan, saat ini Reina sedang berencana membuat sebuah kumpulan tulisan dalam satu tema dengan aliran yang sama, non fiksi. Kemungkinan besar atau tidaknya nanti dari kumpulan itu bakal jadi sebuah buku, Reina juga berpikiran demikian dan mengharapkan hal itu.

Sementara fiksi yang disukai Arta, fiktif berarti tidak nyata, kumpulan imajinasi, khayalan atau cerita rekaan dari seorang penulis. Terkadang karakter dari seorang tokoh ciptaan seorang penulis terbawa dalam kehidupan pribadi Arta―bertingkah laku seperti tokoh rekaan.

***

Beberapa saat, gerah melanda tubuh Reina, sepulang dari restoran dia sama sekali belum mengguyur tubuhnya dengan air, lebih mengutamakan salah satu isi pikirannya yang minta segera dikeluarkan dari dalam bilik otaknya yang sudah sesak dengan pikiran lain―setidaknya dia telah mengetik poin-poin penting dari isi pikirannya, hanya tinggal mengembangkannya saja menjadi sebuah tulisan.

Selagi membersihkan tubuh, laptop tetap dibiarkan menyala di atas meja belajar yang menjadi tumpuannya bermain kata dengan huruf-huruf melekat permanen di setiap tuts laptop. Selain meracik kata-kata, Reina tak lupa membuka akun instagram-nya di telepon genggamnya. Banyak unggahan foto di akun IG-nya, tapi satu pun tak ada menampilkan sosok dirinya. Hanya ada foto berbagai jenis tanaman, masakan lokal maupun luar, pakaian wanita, foto bangunan dengan gaya arsitekturnya yang menarik begitu juga museum dengan segala isinya, dan objek wisata berupa pemandangan alam bak lukisan mahal dipajang di ruang tamu rumah mewah maupun lobi hotel bintang lima, serta foto benda-benda unik atau cendera mata, bukan sekedar foto, dia juga memiliki barang-barang itu didapatkannya sehabis melancong.

Siang tadi, saat berada di restoran, Reina sempat menggugah foto baru di IG-nya dan menuliskan sesuatu di sana, cendera mata yang sungguh berkesan dari negeri yang romantis, Venesia. Unggahannya itu berupa sebuah barang, kemungkinan besar sulit ditemukan di toko suvenir yang menyebar di seluruh wilayah Jakarta. Sebuah cendera mata berupa topeng Venesia yang menggambarkan pola wajah seorang perempuan, didapatkannya secara cuma-cuma dari seorang pria melalui si pemilik toko cendera mata ketika berlibur di kota nan romantis itu. Namun, sayangnya dia tetap mengeluarkan uang juga ketika dimintai membeli pasangan topeng itu, bukan untuknya melainkan buat si pria misterius yang memiliki ide yang sampai saat ini paling terkonyol menurut Reina, dan entah kenapa dia mau saja mengikuti kemauan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, bahkan bertemu dan melihat wajahnya juga belum pernah. Seolah pikirannya dirasuki kekuatan supranatural atau, di sekitarnya berkeliaran penyihir tua mengarahkan tongkat sihirnya sambil membaca mantra di hadapan Reina agar gadis itu melakukan sesuatu sesuai keinginannya.

Sepasang Topeng VenesiaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora