26

195 4 0
                                    

Yoga berjalan gontal ke dalam rumahnya ia memikirkan bagaimana cara membujuk Nara untuk melihat Alif karena sepertinya mendengar namanya saja sudah membuat Nara marah.

Langkahnya terhenti saat didepan kamar bundanya, saat mendengar suara tangisan dari dalam dengan segera ia membuka pintu itu. Disana terdapat bundanya yang terkejut melihatnya.

“Bunda.” Segera Yoga berlari kerah bundanya dan berjongkok memegang kedua tangan bundanya dengan khawatir.

“Bunda kenapa nangis?” tanyanya takut ia tidak pernah melihat bundanya menangis bahkan saat tau ayah tidak pernah kembali lagi, tidak sekalipun ia melihat bundanya menangis.

Bunda hanya tersenyum dan mengeratkan genggeman tangannya.

“Bunda cuman kangen sama ayah.” Seketika rahang Yoga mengeras mendengar keluhan bundanya.

Ia sangat benci pada ayahnya dia pergi dan tidak pernah memberi kabar lagi sampai sekarang, bundanya juga menangis karena dia tidak kembali.

“Bunda gak usah tangisin Ayah!” walau Yoga tidak suka pada ayahnya tapi bundanya selalu mengajarkan untuk menghormati orang tua dia tidak mau menambah sedih bundanya dengan mengatakan kata tak pantas.

“Ayah udah gak sayang kita, dia ninggalin kita. Bunda gak usah pikirin ayah lagi.” detik berikutnya bunda memeluknya sangat erat lalu berkali-kali mengucapkan  kata maaf pada Yoga.

“Kenapa bunda yang minta maaf, Yoga udah lupain semuanya. Bunda juga harus lupain ayah biar gak sedih lagi.”

“Maafkan bunda sayang, maaf seharusnya bunda jujur sama kamu.” Yoga hanya mengangguk walau tidak paham dengan ucapan bundanya ia hanya ingin bunda berhenti menangis.
...

Beberapa minggu sudah Yoga lewati UN kelas 12 juga sudah akan di laksanakan, semenjak itu juga Malik semakin jarang terlihat. Yoga selalu berusaha mencari cara yang pas agar Nara luluh dan pergi melihat Alif sekarang mereka sedang ada di kamar Yoga.

suara mesin cetak terdengar menemani kesunyian ruangan yang dihuni dua orang manusia itu, Yoga mengamati Nara yang sedang mengetik didepannya dengan kacamata yang tertera disana sesekali ia mengerutkan kening kemudian tersenyum.

Yoga melihat printer yang sudah berhenti mencetak kertas-kertas itu ia mengambil lembaran kertas dan menyusunnya di atas meja, hasil penelitian mereka hampir mendekati sempurna waktu yang terbilang singkat mereka hanya mengerjakan penelitian itu kurang dari empat bulan.

Hubungannya dengan Nara juga semakin membaik dia sudah bisa membuka diri dan sering tertawa, “Udah selesai?” Yoga mengalihkan pandangannya pada Nara berada di sisi kirinya.

“Iya udah, tinggal laporan yang ada di file lo. Cepetan print biar cepet beres.” Nara mengangguk dan mulai mencetak tulisan yang ada di laptopnya.

“Ujian kenaikan kelas tinggal dua bulan lagi, laporan ini kapan di kasihin ke bu Betty?” Tanya Nara.

“Minggu depan udah bisa diserahin, kita punya waktu banyak buat belajar. Gue berharap ini semua bisa bikin bu Betty puas!” jawab Yoga dengan nada jengkel.

Gimana gak jengkel, mengingat hukuman gak masuk akal gini!

“Lo kok sensi sih?” Yoga mendelik melihat Nara yang cekikikan. Yoga berjalan kearah Nara yang sedang duduk di atas kasurnya.

“Gue cape Na!” Yoga menyandarkan kepalanya di bahu Nara dan seketika itu juga tubuh Nara menegang.

“Gue pengen ketemu Ayah.” Ucapnya lemah dan memejamkan matanya.

Tidak ada yang bisa Nara lakukan, ia sendiri bingung harus berbuat apa di situasi seperti ini. Hanya satu yang ingin ia lakukan yaitu menyingkirkan kepala Yoga yang seenak jidat bersandar di bahunya.

“Mungkin Ayah lo bosen punya anak aneh macam lo.” Ucap Nara cuek.

Yoga hanya mengendus dan menegakkan tubuhnya, percuma curhat ke Nara tidak akan pernah di anggap!

Walau tidak tega karena raut wajah Yoga sudah berubah murung, terus aku harus apa? Lagian kenapa hal yang bikin sedih malah di omongin terus, bukannya itu malah tambah sedih?

“Kemarin Malik nemuin gue.”

Deg.

Nama Malik kembali ia dengar saat beberapa bulan ini hilang bagai di telan bumi, sudah lama juga ia tidak melihat Malik di sekolah. Apa dia baik-baik saja?

“Dia ngasihin ini.” Amplop coklat di sodorkan Yoga, dengan ragu ia menerimanya disana ada cap rumah sakit.

Jadi dia sakit? Mungkin saja Malik sakit jadi tidak kelihatan di sekolah.

Tubuhku menegang saat membaca nama pasien yang ada di kertas itu, bukan nama Malik. Kembali ku baca seluruh dari isi surat itu, surat pernyataan operasi hati sudah berhasil dilakukan disana juga ada tanda nama papanya.

Tangannya bergetar, ini pasti tidak benar bagaimana bisa ia tidak tau keadaan Alif yang seperti ini. Nara mendongak melihat Yoga yang juga menatapnya perlahan air matanya menetes dengan gerakan cepat Yoga membawa Nara kepelukannya.

“Semuanya akal baik-baik aja.” Nara tidak mengerti maksud dari perkataan Yoga, ada dia tau semuanya?

“Abang lo pasti bakal sadar lagi.” seolah tau apa yang di pirkan Nara, Yoga sudah tau semuanya dari Malik dan kenapa sikap Nara jadi berubah setelah kecelakaan itu.

Walau sempat tidak percara tapi saat Malik membawanya kerumah sakit dan disana juga ada orangtua Nara, semuanya sudah jelas Alif sedang berbaring dengan mata terpejam.

“Semuanya gak seperti apa yang lo pikirain Na, lo salah paham.” Nara melepaskan pelukan Yoga dan kembali menatap anak menyebalkan itu dengan kening berkerut.

“Bukan Alif yang bunuh Kevin.”

“Tau dari mana lo?” Tanya Nara curiga.

“Alif yang jelasin semuanya-“

“Dan lo percaya?!” potong Nara cepat.

Yoga menghela nafas mendengar nada mengejek dari Nara, emang susah menghilangkan sifat keras kepala Nara.
Dengan sabar ia mendekatakn diri pada Nara dan memegang kedua tangannya, “Gue bakal temenin lo kalau lo takut.” Ia yakin kalau dengan cara ini Nara mau pergi melihat Alif.

450 Day [Completed]Where stories live. Discover now