Tiga Puluh Tujuh

7K 772 55
                                    

Kendra

Kepala gue rasanya perih. Ada balutan perban di bagian keningnya. Sebelum membuka mata dengan sempurna, indera pendengaran gue lebih dulu menangkap suara isak tangis yang sedari tadi mengusik alam bawah sadar gue. Pandangan gue turun ke bawah, menemukan gadis itu menelungkupkan kepala di atas selimut. Memori kejadian beberapa saat yang lalu terputar kembali, ah benar, aksi ujuk rasa yang berujung kerusuhan itu adalah penyebab kenapa gue bisa ada di sini.

"Sa.." suara lirih gue memanggilnya. Suara isak tangis itu berhenti sesaat. Khanza mengangkat kepalanya. Begitu melihat gue dengan mata yang sudah terbuka, gadis itu segera menerjang tubuh gue dan mengurungnya dalam pelukan.

"Kendraa... hiks hiks hiks" dia kembali menangis. Tangannya semakin lama semakin erat memeluk tubuh gue, membuat gue kehabisan nafas. 

"Sa.. nafas Sa.. nggak bisa nafas."

Mendengar protes dari mulut gue, Khanza panik dan segera melepaskan pelukannya, "Ayang nggak bisa nafas? Aduh gimana ini? Sini aku kasih nafas buatan sini" Dasar perempuan ini. 

Tinggal satu centi lagi bibir kita bertemu, gue menarik kepalanya kebelakang. Bibirnya mengerucut tidak suka dengan apa yang gue perbuat. Tidak ingin dia marah, gue yang bergerak maju memberikan satu kecupan kecil di mulut mungilnya. Satu senyum terukir di wajahnya.

Gue bangun menyenderkan diri di punggung ranjang. Khanza duduk mendekat dengan tangan kita yang masih terkait satu sama lain. Gadis itu menundukkan kepalanya.

"Sa.." gue memanggilnya.

Tidak ada jawaban.

"Khanza.." Sekali lagi gue memanggil namanya.

Dia masih terdiam. Menyembunyikan wajahnya dibalik geraian rambutnya.

Baru saja mulut gue akan kembali bersuara, tapi isakan tangis gadis itu kembali terdengar. "Sa.. kamu kenapa?"

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Gue menangkupkan tangan di kedua pipinya, mengangkat dagunya sedikit ke atas. Matanya begitu lembab dan merah, nafasnya tersengal-sengal bersama derasnya air mata yang mengalir turun, dan bibirnya sedikit bergetar. Hati gue hancur sehancur-hancurnya melihat wanita yang selalu menampakkan senyum ceria itu kini tenggelam dalam genangan air mata. 

"Sa, kamu kenapa?" Bukannya berhenti, tangisannya malah semakin menjadi-jadi.

"Hiks..hiks.."

"Sasa.." 

"Kenken.."

Tidak hanya gue, namun perempuan di depan gue juga kaget, entah mengapa nama itu meluncur begitu saja. Di tengah kebingungan kami yang belum terjawab, Khanza kembali sesenggukan. Kepalanya gue sandarkan di dada. Rambutnya gue usap lembut, dan ujung kepalanya gue cium kecil-kecil, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan "Sshh.. udah. Kamu kenapa sih sayang? Hm?"

"Aku takut" jawabnya dengan nafas tersengal-sengal.

"Takut apa?"

"Aku takut liat kamu kayak tadi. Aku benci liat kamu cuma diem aja diserang, dilemparin batu, didorong-dorong kayak tadi. Pake sok-sokan jadi pahlawan lagi nolong orang. Udah tau bahaya, cari aman aja kenapa sih" celotehnya panjang lebar.

Gue tersenyum kecil. Ada sebersit kebahagiaan mengisi hati tatkala melihat betapa gadis kecil ini mengkhawatirkan keadaan gue. Jujur, gue benci membuatnya menangis, gue benci membuatnya khawatir. Tapi bagaimana lagi, ini bukan hanya pekerjaan, tapi tanggung jawab dan hati nurani. Gue adalah seorang prajurit. Berdiri di garis kerusuhan untuk membentengi dua pihak. Tidak boleh menyakiti rakyat kecil namun juga harus tunduk pada kawanan elite. 

CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang