Empat Puluh

7.1K 796 63
                                    

Khanza

"Enggak mau Papa. Khanza enggak mau pulang." Gue marah-marah dari ujung telepon. Surat pemindahan tugas Satriya udah keluar. Bulan depan dia sudah dipindah-tugaskan dari sini. Itu berarti, gue juga harus ikut pulang. Sepertinya, pernikahan gue dan Satriya udah nggak bisa ditawar-tawar lagi. "Pokoknya kalau Papa masih maksa Khanza pulang, mending Khanza kawin lari aja. Papa nggak usah ketemu Khanza lagi. Khanza nggak mau jadi anak Papa. Khanza benci Papa!" dengan emosi yang menggebu-gebu gue menutup telepon. 

Amarah gue reda seketika melihat lelaki dengan rambut basah sehabis keramas itu berdiri dengan manisnya di ambang pintu. Jangan bilang dia nguping pembicaraan gue sama Papa tadi.. Aish, sial.

"Ayang sejak kapan berdiri di situ?" tanya gue was-was.

"Sejak tadi" jawabnya singkat.

"Ayang denger ya telepon aku tadi?"

Kendra mengangguk, tapi ekspresinya tetap sama, tidak berubah sama sekali.

Laki-laki itu kemudian melangkah mendekat, tetap dengan senyum tenang yang membuat gue merasa nyaman. Dia menggandeng tangan gue dan mengajak gue duduk di atas ranjangnya.

"Calon istri aku kenapa sih marah-marah sama Papanya?" tanyanya dengan intonasi yang sangat lembut, seperti seorang ayah yang sedang menasehati putrinya.

Gue nunduk. Gue tahu Kendra nggak suka liat gue yang berontak sama Papa. Udah gue bilang kan dia ini family man banget. Paling anti nyakitin hati orang tua.

"Aku sebel. Papa maksa aku buat pulang." jawab gue menggerutu.

Tangan Kendra meraih bahu gue, lalu menyenderkan kepala gue ke dadanya. Uh, dada favorit aku. So hawt and crispy, cem dada KFC. 

"Sebel boleh. Kesel boleh. Tapi kalau marah-marah?"

"Enggak boleh." gue ngelanjutin kata-katanya.

"Pinter calon istrinya Mas Kendra. Sini sun dulu pipinya."

"Bibir.."

"Ya udah deh bibir"

Cup. Asek. Lumayan, meskipun cuma kecup-kecup kecil.

"Orang tua tetep orang tua. Wajib dihormati dan disegani. Karena tanpa orang tua kita bukan apa-apa." jelas Kendra sambil ngusap-usap kepala gue. "Ridhonya orangtua itu ridhonya Tuhan. Emang mau nanti diazab jadi kayak Malin Kundang?"

"Nggak mau. Jadi batu nggak bisa ena-ena."

"Nah itu tau. Jadi biar bisa ena-ena, nggak boleh durhaka sama orang tua, ya? Kalaupun ada perbedaan pendapat, itu kan bisa diomongin baik-baik. Nggak perlu pake emosi."

Gue ngangguk-angguk.

"Yuk sekarang telepon Papa kamu, minta maaf." ajak Kendra sambil menyodorkan ponsel yang beberapa waktu lalu gue banting ke atas bantal.

Setelah mencari kontak Papa, gue memencet tombol hijau yang tertera di layar. Tidak lama kemudian, suara Papa yang masih menyisakan sedikit amarah menyapa indera pendengaran gue, "Kenapa lagi?" ketusnya.

"Papa.. Khanza minta maaf."

Tidak ada suara dari ujung sambungan. Bisa gue bayangkan, mungkin sekarang Papa sedang mematung tak percaya mendengar suara anaknya yang keras kepala meminta maaf. Gue sama Papa itu sama-sama keras kepala. Kalau udah bersikeras, nggak ada yang mau ngalah. Makanya tumben banget ini gue minta maaf duluan.

"Maafin Khanza ya Pa, Khanza udah marah-marah dan ngomong jelek sama Papa."

"I-ini Khanza yang ngomong?"

CakrawalaWhere stories live. Discover now