4

5.1K 404 21
                                    

"Wah, gulai ayamnya enak banget ya"

"Sayurnya juga"

"Nasinya juga tetep anget"

"Ga salah orang logistik milih katering. Mudah-mudahan aja rasanya ga berubah, biasanya kan kalau baru-baru emang gitu, enak diawal aja, abis itu rasanya ambyarr"

Dewi yang mendengar hal itu, tersenyum lega. Ada kebanggaan tersendiri saat mendengar kepuasan pelanggan. Kalau citarasa, dia bisa jamin kalau rasa makanannya ga akan berubah dari awal sampe akhir.

"Makasih lho, mbak, mas saya juga senang kalau masakan saya disukai", celetuk Dewi yang tidak tahan untuk menimpali perkataan rombongan pegawai yang melewatinya.

Sontak saja beberapa diantara pegawai itu menoleh ke arah Dewi.

"Itu semua mbak yang masak?", tanya salah satu pegawai laki-laki dengan antusias.

"Bukan saya saja, Mas. Dibantu yang lain juga", meskipun untuk masakan hari ini Dewi turun tangan langsung, tetap saja dia dibantu oleh anak buahnya.

"Tapi hebat lho, masih muda gini pinter masak. Kateringnya ini punya mbak juga?", kali ini salah satu pegawai perempuan ikut penasaran.

"Iya, mbak. Nerusin usaha ibu sih, soalnya Ibu sudah meninggal", jawab Dewi jujur.

Pegawai-pegawai itu berdecak kagum, mereka sadar sepenuhnya kalau perusahaan mereka tidak akan bekerja sama dengan orang-orang yang tidak punya nama. Jadi mereka yakin kalau katering Dewi bukanlah katering abal-abal.

"Kenalin mbak, saya Rifki, pegawai sini", tiba-tiba saja salah satu laki-laki dari rombongan itu menyodorkan tangannya ke arah Dewi. Rupanya pesona Dewi sudah membuat laki-laki itu kepincut.

"Uuuuuu, dasar meongg. Ga bisa bener liat ikan seger", celetukan-celetukan serta toyoran menghiasi perkenalan itu.

Rifki sendiri hanya tersenyum lebar, dia sudah biasa diperlakukan semena-mena oleh teman-temannya. Namanya juga dia sedang usaha biar ga jomblo lagi, memangnya salah?

Sedang Dewi sendiri merasa malu juga kaget dengan keberanian Rifki yang mengajaknya kenalan. Meskipun bukan pertama kalinya ada yang mengajaknya kenalan tapi mengingat ini sedang berada di kantor, Dewi jadi agak syok.

"Dewi..", tak enak hati akhirnya Dewi menyambut tangan Rifki.

Tanpa disangka, laki-laki yang ada disana jadi ikut-ikutan menyodorkan tangan mereka ke arah Dewi. Rupanya mereka juga tidak mau ketinggalan.

"Uuu, tadi ngatain gua, sekarang lo pada ikut-ikutan. Muna lo pada", Rifki misuh-misuh sedang teman-temannya sontak tertawa, begitu juga Dewi.

"Mbak Dewi anaknya berapa?", pancing Martin, teman Rifki. Pertanyaan itu lagi-lagi disambut sorakan dari laki-laki lain sedang kebanyakan para wanita sudah beranjak meninggalkan kerusuhan itu.

"Saya masih sendiri", jawab Dewi spontan. Kadang kejujuran Dewi ini yang membuat para laki-laki jadi baper.

"Pacar juga ga punya, Mbak?", tanya Rifki yang mulai berharap.

"Baru putus", nah kan, Dewi ini sudah berhasil menimbulkan harapan bagi pria-pria jomblo. Gimana Tari ga menyebutnya playgirl, coba?

Mendengar jawaban Dewi, sontak membuat para laki-laki pada menyeringai senang. Jawaban Dewi dianggap sebagai undangan terbuka bagi mereka.

"Mmm, kalau ada permintaan menu khusus bisa kasih tahu saya ya Mas, mbak. Nanti biar saya siapkan. Biar menunya juga bervariasi.", Dewi sengaja bertanya demi memblokir pertanyaan dari pria lain. Lama-lama dia juga tidak nyaman ditanya hal yang aneh-aneh apalagi mereka sudah menjadi pusat perhatian karena mereka masih berada di dalam kantor.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 23, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dendam Si GendutWhere stories live. Discover now