BAGIAN 1 - Hari Pertama

534 35 10
                                    

Setelah berhasil memanjat masuk ke sekolahnya melalui jalan belakang, Angga menyeker dan berlari di koridor sekolahnya itu tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Keadaan sekolah memang sudah sepi karena bel masuk sudah berbunyi sekitar 10 menit yang lalu. Tapi biasanya, si Nyai, gurunya yang sebenarnya bernama Roro itu, belum sampai di kelas karena dia berbadan gemuk dan jalannya lambat.

'Masih ada harapan....' ucap Angga dalam hati.

Laki-laki itu berlari secepat yang dia bisa. Ah, ada untungnya juga dia tidak mandi pagi ini. Percuma 'kan kalo udah ganteng plus wangi plus rapi tapi harus berlari sampai keringatan begini?

Dan hanya tinggal beberapa langkah lagi... Oh, sedikiiit lagi, sampai Angga akhirnya bisa meraih daun pintu kelasnya itu.

Hap!

Tanpa basa-basi, dengan bangganya, dia main asal mengerang saja dengan begitu kerasnya, lega akhirnya bisa sampai di kelasnya dengan selamat. "Ahhh!! Akhirnya sampe juga—Astagfirulloh!"

Uh.. rasa leganya.. terpaksa harus pupus saat dia dikejutkan dengan tubuh besar itu sudah duduk di meja guru dengan tatapan tajamnya...

Angga sontak terdiam mematung beberapa saat. Hatinya mengucapkan beribu sumpah serapah kepada nasibnya yang sepertinya akan buruk hari ini.

Laki-laki itu kemudian mengulas cengiran sok polosnya. "Eh, Ibu. Selamat pagi, Bu..," sapanya sebelum berjalan menghampiri si ibu guru sambil mengancingkan bajunya saat tatapan m
aut itu turun ke seragamnya.

Angga kemudian meraih tangan wanita tua itu dan menyaliminya. Tanpa memedulikan tatapan itu—atau mungkin mencoba menghindarinya—Angga belagak celingak-celinguk di depan kelasnya.

"Aduh, saya lupa tempat duduk saya di mana—Oh, di sebelah Rama ya, Bu? Ya sudah, saya permisi duduk ya..." Lagi, Angga menyalimi tangan gurunya itu sebelum kembali berpamitan dengan senyuman polosnya. "Assalamualaikum."

Dan seolah tidak berdosa, Angga melengos menuju tempat duduknya.

Satu langkah..,

'Aman..,' kata batinnya.

Dua langkah..,

"Masih aman..," ucap bibirnya, berkomat-kamit.

Tiga lang—

"ANGGA!" ... Dan mata Angga tertutup seiring dengan langkahnya yang juga ikut berhenti. Ah, dia langsung saja memasang telinganya tebal-tebal, bersiap mendengar hukuman yang harus ia tanggung setelah ini.

"Lari kamu 50 putaran lalu hormat ke bendera sampai bel istirahat!" Angga pun hanya mampu mengerang tanpa suara.

Malas.

Demi apapun, Angga sedang benar-benar malas.

Setelah mengayuh sepedanya dengan kecepatan setan lalu berlari dari warteg Bu Dedeh ditambah acara "Manggala si Maling Nyeker" tadi, tenaga Angga sudah terkuras cukup banyak.

Dan sekarang apa?

Lari 50 putaran!?

Lima puluh?!!

Apa tidak ada hukuman yang lebih manusiawi lagi!?

Angga kemudian menyipitkan mata kepada sahabat-sahabat sialannya yang di balik wajah mereka yang sedang berkedut itu, Angga tau mereka pasti sedang tertawa jahanam di dalam sana...

Lagi, bibir Angga berkomat-kamit, meminta salah satu dari mereka untuk membantunya. Tapi sialnya, mereka tetap hanya diam menahan tawa mereka setengah mati.

"MANGGALA!"

Dan begitu mendengar suara menggelegar itu, seketika saja Angga langsung melempar tasnya ke atas mejanya dan langsung mengacir menuruti perintah ibu negara.

Manggala (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang