"Warteg Bu Dedeh?" tanya Maula yang terkekeh ringan melihat tempat makan pilihan Angga. Pasalnya, laki-laki itu tadi bilang padanya bahwa dia akan mengajak Maula ke sebuah restoran mewah di kota Solo.
"Eits, jangan ketawa dulu. Ini warteg bukan sekedar warteg hari ini!" ujar Angga membuat Maula menaikkan kedua alisnya, berpura-pura terkejut.
"Oh ya?"
Angga mengangguk mantap. "Tentu." Ia kemudian memarkirkan sepedanya dan membantu Maula untuk turun sebelum dia sendiri turun dari sana.
Maula langsung berjalan menuju pintu masuk warteg itu yang anehnya hari ini ditutup. Maula menekan kenopnya dan.. terkunci?
Angga terkekeh dan langsung ditatap bingung oleh si Nona Manis. Dia kemudian menunjuk pintu samping dari warteg itu. "Lewat sini, Nona."
Dan saat setelah Maula dipersilakan untuk masuk terlebih dahulu, dia tercengang. Maula.. langsung terpana melihat tempat itu yang hari ini berubah menjadi tempat yang begitu.. romantis.
Meja-meja yang biasanya tersusun rapi memenuhi ruangan sempit itu, kini hanya tersisa satu meja saja yang terletak di tengah-tengah ruangan dengan balutan taplak meja berwarna putih.
Tempat itu, yang biasanya juga berbau pengap bercampur asap rokok, hari ini terasa lebih bersih. Maula bahkan bisa mencium wangi karbol yang menyegarkan menguar dari lantai keramik warteg itu.
Makanan-makanan yang biasanya selalu dipajang sebagai dagangan, hari ini tidak ada. Di ruangan yang biasanya sesak dipenuhi banyak barang itu hari ini benar-benar hanya menyisakan sebuah meja dengan satu vas bunga keramik kosong yang sederhana di atasnya.
Masih tercengang, Maula bertanya, "Apa ini, Angga?" Dia berkata sambil memutar pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
Angga tersenyum. "Udah aku bilang warteg ini bukan sekedar warteg hari ini.."
Angga lalu menuntun Maula dengan lembut. "Ayo, aku antar ke tempat dudukmu."
Dan setelah mereka sampai di tempat duduk itu, Angga kembali pada mode formalnya. Dia menjulurkan tangan kanannya dan sedikit membungkuk. "Boleh saya pinjam bunga mawarmu, Nona?"
Melihat itu, Maula tertawa dalam hatinya. 'Ah, orang ini mulai lagi..' gumam batinnya yang jujur merasa terhibur.
Maula kemudian menegakkan tubuhnya dan berpura-pura anggun menyerahkan mawar merah pemberian Angga itu. "Silakan, Tuan." ujarnya mengikuti cara bicara Angga yang sekarang tengah tersenyum berterima kasih.
Laki-laki itu kemudian memasukkan mawar merahnya ke dalam vas keramik sederhana itu sebelum kembali menebarkan senyumannya. "Sempurna," gumamnya.
Angga kemudian beralih membuka kursi, menyediakan tempat duduk untuk Nona Manisnya.
"Silakan duduk."
Maula hanya terkekeh dan berterima kasih.
Angga kemudian ikut duduk di tempatnya sendiri dan seketika menatap bingung pada gadis itu yang sekarang sudah menahan dagunya dengan kedua telapak tangannya. Oh, jangan lupa dengan seulas senyuman jahil yang terulas di wajah cantiknya.
"Jadi.. ada yang bisa kamu jelaskan, Tuan Manggala?" tanya Maula membuat Angga terkekeh, sedikit merasa gugup dan.. salah tingkah.
"Yaaa, daripada kita nonton layar tancap atau keliling pusat belanja, lebih baik kita makan di sini," jawab Angga membuat gadis itu manggut-manggut.
Ah, bukan itu sebenarnya maksud dari pertanyaannya..
"Dan... bagaimana dengan.. tempat ini?" tanya Maula yang masih belum puas mendengar jawaban laki-laki itu.
Angga mengusap tenguknya. Dan kalau Maula tidak salah lihat, wajah laki-laki itu sedikit... merona.
Ah, menggemaskan sekali!!
"Aku.. aku mau buat pertemuan kita kali ini sedikit lebih.. istimewa, Maula," ucap Angga dengan kikuk. Ah, dia tidak pernah ada di posisi ini sebelumnya..
"Yah, walaupun nggak seberapa, tapi jujur rasanya aku lagi kayak kencan berdua di restoran mewah," lanjutnya membuat Maula terkikih namun sebenarnya di dalam hati ikut membenarkan ucapan laki-laki itu.
"Silakan dimakan, Mba, Mas." Bu Dedeh kemudian datang membawa dua mangkuk mie ayam spesialnya.
Angga tersenyum konyol melihat mie ayam di hadapannya itu. "Dan seperti yang kita tau, satu-satunya menu spesial di 'restoran mewah' ini adalah mie ayam," ujarnya berhadiah sebuah jeweran ringan dari wanita berumur 30 tahunan itu.
"Adaaww!"
"Enak aja! Ini mie ayam udah ibu buat spesial tau! Pakai kaldu ayam kampung!" gerutunya membuat Angga menyengir.
Ia mengusap telinganya yang memanas. "Iya deh, makasih banyak, Bos! Oh, ya. Kita kencan kayak gini enggak mungkin bisa berhasil tanpa jasa ibu bos kita ini lho, La," ujar Angga yang sepertinya sudah salah membuka topik pembicaraan karena emak-emak itu seketika langsung nyerocos ke mana-mana.
"Oalah, kamu tau ndak, Mbak Maula. Ini anak satu yo.. hueeeebohhnya minta ampun! Pagi-pagi subuh udah datang ke sini beresin meja-meja sama kursi. Habis itu bulak-balik ke rumah ambil perlengkapan ini-itu. Sampai dia rela masuk siang ke acara sekolahmu itu karena dia bela-belain nyapu-ngepel satu warteg ini dulu sendirian!" cerocosnya membuat rona merah pada wajah Angga kembali terbit.
"Seriusan, Bu?" Apesnya, Maula justru tertarik dengan topik pembicaraan itu.
"Loh iya! Pas ibu suruh dia pergi ke sekolah dia cuma bilang, 'Nanti aja, Bu. Aku masuk sekolah waktu Maula mau tampil aja!' Emang dasar anak ini." Lagi, Bu Dedeh menjewer ringan telinga Angga yang sedang tersenyum masam.
"Wis to, Bu. Malu tau," cicit Angga kali ini berhadiahkan tatapan heran dari wanita itu.
"Emangnya kamu punya malu?" tanya Bu Dedeh langsung membuat Angga menyentuh dadanya, berpura-pura sakit hati mendengar hujatan sadis emak-emak satu itu.
Angga menggeleng-gelengkan wajahnya dengan dramatis. "Astagfirullah.."
Bu Dedeh hanya menyengir menimpalinya. "Yowis, ibu tinggal ke belakang ya. Kalian lanjutin kencannya-eh? Kalian udah bener-bener..." ucapan Bu Dedeh menggantung dan dia secara bergantian menatap mata Angga dan juga Maula.
Maula yang mengerti maksud tatapan itu seketika menggeleng kikuk. "Eh, engga, Bu."
Mendengar itu, Angga mendecak ringan. Ia kemudian menarik lengan Bu Dedeh, mendekatkan telinga wanita itu dengan mulutnya. "Doain aja ya, Bu," ujarnya sok-sok berbisik sebelum menyengir. Dan setelah itu, Bu Dedeh hanya terkikih sebelum pamit pergi meninggalkan dua muda-mudi itu.
Angga menghembuskan napasnya ringan, mencoba mengenyahkan sisa-sisa salting yang sempat datang karena emak-emak satu itu.
Angga membenarkan posisi duduknya. "Dan ya. Dalam rangka memperingati keberhasilan kamu hari ini, mari kita makan!" seru Angga bersiap dengan sendok dan garpunya.
Sebelum menyantap makanannya, kedua mata mereka sempat kembali bertemu. Dan baik Angga maupun Maula, keduanya sama-sama mengulas senyum lebarnya dan berseru, "Selamat makan!"
***
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Manggala (TAMAT)
Teen Fiction"Aku menyukaimu." Oh, Maula terkejut bukan main. Ia kemudian menggeleng tidak percaya. "Kamu... gila..," gumamnya tanpa sadar. Tapi laki-laki itu hanya tersenyum teduh dan berkata, "Ya. Aku tau. Selalu memikirkan kamu, merindukan suaramu, senyumanmu...