Hujan dan Ibu Aina.

164K 2.8K 58
                                    

Rinai hujan turun perlahan dari langit kota Cianjur, salah satu kabupaten di Propinsi Jawa barat yang berbatasan dengan kabupaten Bogor dan Purwakarta pada sebelah utara. Awan hitam yang sedari tadi bergelayut diatas sana kini menyerah, menjatuhkan tetes demi tetes partikel air yang menyatu dengan tanah dan menghantarkan bau khas hujan yang sangat gadis itu Puja. Petrichor, bau khas hujan yang selalu membuatnya merasa tenang sekaligus terharu.

Ada begitu banyak buncah kenangan sehingga ia sangat mencintai hujan. Terutama tentang mendiang ibunya. Bukan ibu kandungnya, tetapi ibu yang merawatnya dari ia kecil sampai ia tumbuh menjadi gadis manis seperti sekarang, ibu yang akan menjadi barisan terdepan untuk mendukungnya, ibu yang selalu mendampingnya dikala ia terpuruk, ibu yang tak pernah henti mendoakan yang terbaik untuknya, ibu yang selalu ada untuknya disaat ibu yang melahirkannya justru meninggalkan gadis itu begitu saja delapan belas tahun yang lalu dialun-alun dekat balai kota Cianjur.

Ibu Aina –ibu angkatnya sangat mencintai hujan. Dulu setiap hujan menyapa beliau akan mengajaknya duduk didepan jendala besar rumahnya dikawasan cibodas, menyaksikan hujan dengan susu coklat yang masih mengepul di tangan masing-masing. Mereka akan menceritakan apa saja yang telah mereka lalui hari itu, atau menceritakan kisah-kisah lucu yang selalu berakhir dengan gelak tawa. Hujan selalu sehangat itu bila ia lewatkan bersama ibunya. Meskipun pada akhirnya hujanlah yang membawa ibunya pergi untuk selama-lamanya sepuluh bulan yang lalu, karena mobil yang sedang dikendarai bersama teman-teman arisannya tergelincir di tengah hujan dan membuat Ibu Aina menutup usianya setelah satu minggu dirawat secara intensif di Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur.

Lingga Andum terhenyak dari lamunannya, sepertinya hujan telah menggiringnya pada kenangan bersama ibunya dulu. Mungkin karena gadis itu terlalu merindunya? Atau karena ia belum mengunjungi makam Ibu Aina seminggu terakhir? Kesibukannya di kantor selalu berhasil membuat gadis itu pulang sore dan melewatkan rutinitasnya mengunjungi makam ibunya. Maklum saat akan tutup buku, perusahaan milik Korea Selatan tempatnya bekerja sedang gencar-gencarnya membuat laporan.

"Serius banget ngelamunnya Non?" Ujar seseorang tiba-tiba. Gadis itu mengalihkan pandangannya, dihadapannya kini terparkir sebuah mobil Chevrolet Spin silver yang sudah sangat tidak asing baginya. Kaca pintu mobil itu terbuka, menampakan wajah pria yang sudah sepuluh bulan ini mewarnai dunianya.

Gadis berperawakan jangkung itu tersenyum kecil saat melihat kekasihnya. "Kapan nyampe Fad?" Tanyanya seraya berlari merebos hujan untuk menaiki mobil kekasihnya.

"Lima menit yang lalu." Jawabnya, tangannya dengan sigap membukakan pintu untuk Andum. "Kalo enggak dipanggil mungkin masih ngelamun kali yah." Canda Faisal Fadi.

"Suka lupa tempat sih kalo lagi ujan, bawaannya pengen ngelamun aja." Jujur gadis yang menenakan baju terusan bermotif batik itu setelah duduk di kursi depan, ia menepuk-nepuk bajunya yang sedikit basah.

"Deuh.. jadiin ujan sebagai kambing hitam, ngelamun emang kebiasaannya situ, kan?" Cibir Fadi.

Andum tidak terprovokasi, gadis itu malah asik merapikan rambut lurus sebahunya yang sedikit basah terkena air hujan. Entah sejak kapan melamun menjadi kegiatan favoritnya, menurutnya melamun adalah sebuah refleksi yang bisa membuat syaraf-syaraf ditubuhnya menjadi rileks, pemikiran bodoh memang!

"Kan ngelamun lagi." Suara Fadi terdengar lagi.

"Berisik deh dari tadi." Andum ngambek akhirnya.

"Duh ngambek, iya deh maaf." Kata pria itu tulus. "Lagi pengen ikan bakar nih, makan dimana ya enaknya?" Tanya Fadi meminta pendapat. Mobil silvernyamelaju, membelah hujan pertama di musim penghujan tahun ini.

"Eh, Fad kayaknya malem ini kita bisa makan bareng deh, Bapak nyuruh pulang cepet tadi." Kata Andum serius. Satu jam yang lalu secara mengejutkan Bapak Bambang –Bapak angkatnya menelfon dan menyuruh anak gadisnya pulang cepat, entah untuk alasan apa karena beliau tidak menjelaskan, pria paruh baya itu hanya berpesan agar anaknya langsung pulang setelah jam kantor selesai.

"Loh kenapa? Biasanya Bapak anteng-anteng aja kan kalo kamu pulang malem? Apa Bapak udah sadar kalo anak gadisnya sekarang udah punya pacar? Wahh, kayaknya gitu!" Spekulasi Fadi, pria itu bertanya namun dijawab sendiri.

Andum menggeleng kecil melihat tingkah konyol kekasihnya. Fadi selalu mencibirnya bahwa dirinya adalah pelamun terhebat, namun nyatanya Fadi adalah orang teraneh dimuka bumi, karena pria itu selalu berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, 'sesuai dengan fakta yang ditemukan dilapangan' kalau kata bahasa gaulnya Fadi. "Indikasinya?" Tanya Andum penasaran dengan fakta apa yang akan kekasihnya jelaskan.

"Karena kamu udah jarang makan malem dirumah kan? Dan selalu berangkat kerja pagi-pagi supaya bisa nebeng aku kalo ke kantor, padahal tempat kerja kita beda arah dan lagi mengharuskan aku berangkat lebih pagi biar enggak telat masuk kantor." Bebernya sungguh-sungguh, pria itu mengangguk-angguk kecil tanda ia yakin dengan spekulasinya.

Andum menimbang dalam diam, "Bisa diterima." Ujarnya mulai terpengaruh.

"Kalo udah ketauan gini, mesti nyapa calon mertua dong!" Ucap Fadi seraya tersenyum jahil.

"Calon mertua apaan!" Seru Andum galak.

"Sensi terus dari tadi!" Kata Fadi tak kalah galak.

Andum mencibir, memang seperti inilah gaya berpacaran mereka, selalu penuh dengan perdebatan kecil namun tak pernah serius. Saling menyayangi dengan cara yang mereka buat sendiri.

***

"Yaudah cepet masuk, nanti dimarahin Bapak." Ejek Fadi. Mereka telah sampai di pelataran rumah Andum, didepan gerbang yang menjulang tinggi.

"Enggak lucu deh bercandanya." Ujar Andum sinis seraya membuka seat belt yang masih menempel di tubuhnya.

"Eh, tapi masih penasaran deh kenapa Bapak nyuruh kamu pulang cepet." Fadi masih penasaran, naluri detektifnya belum terpuaskan. Pria itu memegang dagu, tak peduli dengan Andum yang masih berusaha membuka seat belt nya yang macet.

"Ya, siapa tahu Bapak mau jodohin aku sama anak temennya yang jadi TNI juga,biasanya kan gitu, anak TNI harus nikah sama TNI lagi." Jawab gadis itu asal, lalu mendesah kecil saat berhasil membuka seat beltnya.

Fadi memukul dahi Andum pelan. "Kalo ngomong itu jangan kemana aja, tapi tukang lamun sih gitu, khayalannya selalu bergerilya kemana-mana." Sebenernya Fadi ketar-ketir juga, takut apa yang Andum katakan benar.Adat orang Indonesia biasanya seperti itu kan?

Andum menyipitkan mata sembari memegang dahinya yang terasa sakit. "Wah, udah maen KDRT. Bilangin Bapak baru tahu rasa!" Ancamnya, lalu membuka pintu mobil.

"Ngadu. Ngadu." Ejek Fadi lagi. Pria itu membawa sesuatu dari jok belakang kemudian menyodorkannya kehadapan Andum. "Ujanya deres sayang, kalo keujanan terus sakit siapa yang repot? Bapak kan?" Fadi nyengir. "Cepet masuk." Lanjutnya.

Andum mengangguk lalu membawa payung yang diberikan Fadi. "Makasih Fad." Ucapnya manis yang dibalas pria itu dengan usapan lembut di pucuk rambutnya.

Setelah perbincangan tak penting, akhirnya Andummeninggalkan Fadi, membelah hujan dengan payung mickey mouse ditangan kanannya.

Because Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang