Video

8.8K 205 1
                                    

Betapa hancurnya hatiku ternyata video itu masih banyak. Satu persatu kulihat video yang berdurasi 0.38 detik itu.

"Wenda?!"

Duniaku seakan runtuh ketika wanita yang ada di video itu berbalik. Aku kenal betul sosok wanita itu. Tak mungkin salah. Dia adalah Wenda. Seorang perempuan yang ditinggal suaminya dalam keadaan hamil.

'Ya Allah kenapa sesakit ini.'

Tanganku terus mengelus dada. Sakit sekali rasanya. Dari luar kudengar suara langkah kaki Mas Heri. Cepat-cepat aku membereskan semua yang telah kulakukan dan meletakkan gawai Mas Heri seperti sedia kala.

"Dek! Kamu ngapain?" tanya Mas Heri sembari mengeringkan rambut dengan handuk berwarna hijau itu.

"A-anu Mas a-aku mau ambil baju kotor," balasku terbata.

"Owh ya sudah. Tolong sarapannya dibungkus saja, yah."

"Loh kenapa Mas? Kamu nggak makan di rumah? Mau kemana?" Aku menyerang Mas Heri dengan pertanyaan bertubi-tubi.

Mas Heri melongo sesaat. "Kamu kenapa?"

"Ya kan Mas selalunya sarapan di rumah. Tumben aja hari ini mau dibungkus."

Mas Heri mendekat lalu mengelus kedua belah pipiku. "Aku ada kerjaan penting sama Dude, Sayang."

Aku menelan ludah. Hatiku seakan tak percaya dengan perkataan yang dilontarkan oleh Mas Heri. Ingin rasanya aku langsung to the point menanyakan perihal video itu, tapi entah kenapa nyaliku seakan ciut seperti kucing yang disiram air.

Aku keluar kamar dan melanjutkan pekerjaanku dengan hati yang masih teriris sembilu. 'Bagaimana kalau Mas Heri ada main dengan Wenda?' Hatiku terus saja berburuk sangka. Tak ada sedikitpun prasangka baik saat ini dalam hatiku.

"Bunda!" pekik Safa.

"Iya Sayang kenapa?"

"Tuh ... tuh," ujarnya sembari menunjuk ke arah kompor.

"Allahu Akbar."

Komporku berasap hampir meledak. Segera kumatikan dan menjauhkan Safa dari situ.

"Hihihi. Bunda lucu," kata Safa seraya menutup mulutnya.

Aku mendekati Safa lalu mendekapnya. Anak ini bukan anakku bukan darah dagingku tapi aku amat mencintainya. Bagaimana kalau jika semuanya benar? Apakah aku akan kehilangan Safa dan Zidan?

"Dek sudah siap belum?"

"Maaf Mas belum," balasku seraya menggendong Safa.

"Aaarg! Sudahlab aku berangkat, sarapan di luar aja."

"Mas!"

"Apa? Aduh aku buru-buru Dek."

Mas Heri meninggalkan kami. Terdengar suara motornya semakin lama semakin menghilang. Jujur perempuan mana yang tak sakit hati dan bisa menerima semua ini. Hanya dalam semalam Mas Heri berubah 180%. Aku seakan tak mengenal lagi sosok lelaki yang menikahiku dulu.

"Uueeek!" Aku menutup mulut dan menurunkan Safa. Bergegas ke kamar mandi.

Perutku seakan diputar dan diaduk sembarangan. Kepalaku sangat berat. "Haah!" Aku mendesah menahan diri.

"Bunda kenapa?" tanya Safa sembari menggenggam tanganku kuat.

"Bunda enggak apa-apa Sayang. Abang Zidan udah bangun?"

"Belum Bunda. Zidan masih tidur," balas Safa.

"Jangan panggil Zidan Nak. Panggil Abang yah."

Aku berusaha membawa diri untuk membangunkan Zidan. Akan tetapi begitu masuk ke kamar anak-anak kulihat Zidan sedang meringkuk menahan sakit. Langsung saja kuperiksa suhu tubuhnya dan ternyata sakit Zidan kembali kambuh.

Tak perlu pikir panjang aku membawa Zidan pergi ke rumah sakit umum terdekat untuk pertolongan pertama. Dalam perjalanan Zidan terus berusaha menarik napasnya. Aku menangis melihat Zidan yang kesakitan. Dia menderita asma keturunan dari ibunya.
Sesampainya di sana Zidan langsung ditangani.

****
Setelah beberapa saat Dokter Silvi keluar. Dokter ini yang selalu merawat Zidan dan dia adalah sepupu Mas Heri. "Kak kenapa Zidan begini lagi? Dia kecapean yah?"

"Semalam kami ke kebun binatang, Sil."

"Kan aku dah bilang Zidan jangan capek. Asmanya ini udah parah. Inhaler-nya mana?" Silvi nampak kesal. Terlihat dari nada suaranya yang meninggi.

"Mas Heri bilang jangan dikasi Sil. Aku mana bisa bantah. Kamu tahu Mas Heri gimana," balasku malu.

"Ya sudah aku kasih satu lagi. Kakak simpan. Mati nanti ini anak baru kalian tahu!" Silvi berlalu setelah memarahiku.

Hatiku sakit Ya Allah. Apa salahku? Aku sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Safa dan Zidan. Mas Heri memang tak mengizinkan aku membiasakan Zidan menggunakan inhaler itu, tapi bukan berarti aku ingin Zidan sakit.

Aku mengeluarkan telepon genggam dari tasku. Mencoba menghubungi Mas Heri dan memberitahukannya perihal Zidan.

"Halo Mas. Zidan di rumah sakit. Kamu ke sini segera yah."

"Haduh aku sibuk Mila!" Mas Heri membentakku.

Aku tertegun begitu sambungan telepon terputus. Memutar otak dan mengingat kembali suara desahan wanita di sela pembicaraan kami. 'Apa ini? Itu suara siapa?' Aku mencoba kembali menghubungi Mas Heri, namun teleponnya tak diangkat.

Hatiku kembali nyeri. Aku mendengar suara itu. Aku yakin itu suara perempuan. Ya Allah kenapa aku harus mengalami semua ini?

#bersambung

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang