video

5.2K 214 2
                                    

"Assalamu'alaikum. Ayah-Ibu? Kok datang enggak bilang-bilang," sela Mas Heri dari belakang.

Kaget? Iya, aku sangat kaget melihat Mas Heri yang entah sejak kapan ada di sana. Dengan manisnya, dia memcium punggung tangan kedua orang tuaku. 'Kamu sungguh hebat, Mas. Ternyata selama ini aku yang terlalu bodoh dan kemakan cinta busukmu.'

"Kenapa enggak bilang, Pak. Kemaren, Heri mau ngasih surprise sebetulnya tentang kehamilan, Mila. Eehh tahunya Bapak sama Ibu udah datang duluan," sambung Mas Heri.

"Iya, Nak. Ibumu menghubungi kami. Ini sesuatu yang amat luar biasa, kan. Kami enggak mau kelewatan moment bahagian ini," jawab ayahku.

"Kamu dari  mana saja, Heri?" tanya ibuku, ketus.

"Heri ada kerjaan, Buk. Mohon maafkan, Heri, yah."

"Sudahlah, Buk. Namanya dia suami, kan pasti kerja cari nafkah."

Aku diam saja memendam rasa yang sangat muak ini. Semoga kedua orang tuaku tak shok ketika mengetahui yang sebenarnya.

"Eeh, Zidan sakit apa?" tanya ibuku, sembari mendekati Zidan.

"Zidan kecapekan aja kok, Buk," balasku.

Kami berkumpul di ruangan itu. Safa yang sedari tadi tertidur, bangun karema suara yang ramai, "Nenek!" jerik Safa yang langsung menghampiri ibuku.

"Ooh cucu, Nenek udah gede."

Orang tuaku mencintai anak Mas Heri. Memperlakukannya baik seperti cucu sendiri. Lalu jika kelak anakku lahir, apakah mereka akan tetap mencintai Safa dan Zidan? Kuharap rasa mereka tak akan pudar untuk kedua anakku itu. Aku tak berharap ada prilaku membeda-bedakan antara anak-anakku.

Selang beberapa saat. Silvi datang untuk memeriksa Zidan. Dia menyalami kedua orang tuaku. Tatapan tajam Silvi masih tetap sama. Dia adalah wanita baik. Beruntunglah suaminya menikahi Silvi.

"Gimana keadaan Zidan, Sil?" tanyaku.

"Sudah baik, Kak. Zidan bisa pulang." Silvi nampak mengemas perlengkapannya setelah itu, "Saya permisi Buk-Pak.".

"Mila ... kamu tinggal sama Ibu aja, yah," pinta ibuku.

Aku terdiam dan menatap Mas Heri. Berharap dia tak mengizinkannya. Walau aku membencinya, tapi dia masih suamiku. Aku masih jadi tanggung jawabnya.

"Heri ngikutin kemauan, Mila aja, Buk," balas Mas Heri santai.

'Aku harusnya tahu, Mas kalau kamu bahagia jika aku pergi. Semua rencanamu untuk menikah dengan selingkuhanmu akan berjalan muku!'

"Mila bukannya enggak mau, Buk. Hanya saja Zidan kan sekolah. Kasian, Buk," balasku.

"Iya, Buk. Zidan sama Safa siapa yang jaga kalau Mila pulang ke rumah kita," jawab ayahku.

Ibu terlihat sedih. "Ya sudahlah."

'Maafkan Mila, Buk. Mila harus menyelesaikan masalah ini dulu.'

"Kalo bunda pergi rumah Nenek, yang jaga Safa siapa, Nek?" jaga Safa, manja.

Aku tersenyum melihat tingkah lucu Safa. Dia bersandar dengan nyaman di bahu ibuku. Pemandangan yang menyejukkan hati, tapi jangan lihat ayahnya. Membuat hati panas!

Keadaaanku pun jauh lebih baik. Kami memutuskan untuk pulang ke rumah.

*****
Sesampainya di kompleks perumahan kami. Terlihat jelas olehku mobil yang dipakai Mas Heri kemarin terparkir dengan nyaman di teras rumah Wenda. Rasanya aku ingin langsung turun dan melabraknya. Setidaknya sekedar basa-basi seperti orang bodoh yang tidak tahu perbuatan menjijikkan mereka. Masih terekam jelas dalam ingatanku video yang kemarin. Wenda berlenggak-lenggok dengan santai membuka pakaiannya. Tak malu kah dia melakukan hal itu? Lebih-lebih video itu dikirim kepada lelaki yang sudab memiliki istri dan anak-anak. Mungkinkah ini karena hasrat yang tak dapat dia bendung setelah ditinggal suami? Lalu kenapa harus suamiku?
Aku tak begitu tahu kebenaran tentang suami Wenda, yang kutahu Wenda berkata suaminya meninggalkan dia begitu saja setelah usia kandungannya dua bulan. Kini usia kandungan Wenda mungkin sudah tujuh atau delapan bulan. Wenda menangis sesenggukan saat menceritakan kepahitan hidup yang dia alami. Sebagai wanita aku pasti sedih mendengar ceritanya.

'Wenda ... Wenda, ternyata kau ular yang sangat berbisa.'

"Yeee sampai rumah!" jerit bahagia anak-anak. Begitu kami sampai.

"Sini ... sini, Mas yang bawa. Kamu kan hamil, jangan bawa yang berat-berat," ujar Mas Heri sembari berusaha mengambil tas yang tengah kupegang.

"Nggak apa, Mas. Aku bisa," balasku menepis tangannya.

"Mila! Enggak boleh begitu sama suami, Nak," ujar ayahku.

"Nggak ala, Yah. Mila bisa kok. Mila masih kuat. Ini enggak ada apa-apanya, Yah," balasku.

"Aaa ... sudah nggak apa-apa, Yah. Ayo, kita masuk," balas Mas Heri lagi.

Kami semua masuk ke dalam. Mumpung keluarga juga sedang berkumpul, maka aku akan membuat makanan spesial.

"Biar ibu aja, Mila," kata mertuaku.

"Mila aja, Buk. Mila oke, kok," balasku sembari mencuci ayah yang memang ada di dalam kulkas. Ayam ini kubeli sebelum kami ke rumah sakit.

"Ya sudah ibu beresin ini saja, yah."

Aku mengangguk dengan menebarkan senyuman. Ibuku memang tidak pernah masuk ke dapur, selain hanya untuk melayani ayah. Aku dan almarhum saudariku selalu diajari mandiri sejak kami duduk di bangku SMP.

"Uuueek! Hhmmm ...." Aku meringis dan menelan ludah begitu mencium aroma ayam tadi.

"Kan ... kan, Sayang biarkan ibu aja yang nyuci ayamnya. Kamu mending duduk sana. Untuk hari ini biar Mas yang masak," ucap Mas Heri yang langsung mendekatiku.

Aku menggeleng tak percaya telah menikah dengan lelaki yang sangat ahli bersamdiwara, "Ya sudah." Aku berlalu setelah membersihkan tangan.

Mas Heri tersenyum dan mencubit pipiku. Benci! Aku benci tangan itu. Tangan itu telah menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Aku tidak membenci poligami. Sungguh! Asal caranya benar dan memang ada sebabnya. Maksudnya jika aku memang istri yang banyak kekurangannya. Tetapi ini? Mas Heri selingkuh dengan wanita yang hamil pula.

"Oh iya, Mas. Aku ajak Wenda makan sekalian, yah. Udah jarang banget kan Wenda enggak datang ke rumah kita. Gimana, Buk?" tanyaku kepada mertuaku.

Ibu mertuaku melirikku aneh.

"E-enggak usah lah, Sayang. Ngapain juga undang dia, kan ini kita kedatangan orang tua kamu," balas Mas Heri salah tingkah. Tangannya menggaruk-garuk kepala, sesekali menyeka keringat yang bercucuran.

"Kamu kenapa, Mas? Panas?" tanyaku.

"A-aku nggak apa-apa, kok," balas Mas Heri gelagapan.

"Ya sudah aku undang, yah. Lagian ini permintaan anak kamu looh," balasku lagi

"Ada apa ribut-ribut?" tanya ibuku yang datang menghampiri kami.

"Enggak, Buk. Mila mau undang tetangga sebelah. Dia janda dan lagi hamil," jawabku santai.

"Kasian sekali, Mil. Ya sudah ajak sekalian," balas ibuku.

Aku tersenyum bahagia. Mas Heri! Apakah kamu akan bisa menutupi kebusukan ini selamanya? Apa kamu pikir aku sebodoh itu? Maaf, Mas. Kami hanya tidak mengenal diriku yang sesungguhnya. Walaupun aku pendiam dan terlihat baik hati, tetapi aku bisa membunuh karaktermu secara perlahan.

Video di Dalam Gawai Suamiku. [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang