2. Second Encounter

55.8K 7.6K 400
                                    

Berhubung tugas udah selesai, aku update Sekar-Bima dulu, ya. Jangan komen-komen yang terlalu kasar buat mereka terutama Sekar. She is a woman. Women should respect and support another women, tanpa kecuali :)

Enjoy
*
*
*

Bima

Menjadi single parent, apalagi di usia yang muda, tidak akan pernah menjadi agenda semua orang. Namun apalah daya ketika takdir berkata lain.

Satu hal yang aku syukuri setelah perceraianku dengan Clara-mantan istriku-adalah hak asuh anak jatuh ke tanganku.

Kenapa?

Karena Clara sedang mengandung saat ini. Anak hasil perselingkuhannya dengan pria lain.

Miserable? Ofcouse I am. Saat aku berjuang mati-matian untuk mendapat restu dari kedua orang tuaku yang kurang suka pada Clara karena satu dan lain hal, ternyata malah ini balasan yang kudapat darinya.

Kalau mengingat itu, rasanya kepalaku mau pecah. Tapi semua beban di pundak dan kepalaku langsung hilang begitu aku mendengar teriakan...

"Papaaaaaaa!"

Deryl, putraku satu-satunya, kini berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya.

Aku langsung membungkuk, menangkap tubuhnya dan langsung menggendongnya sambil mencium pipi kanan dan kirinya.

"How was your day, boy?" tanyaku dengan masih menggendongnya menuju kamar kami.

Deryl sekarang berusia tujuh tahun. Dia sudah duduk di kelas dua SD.

"Good. I got 100 in math, Pa. My teacher asked me to write the answers on the white board. Hebat, kan?" jawab Deryl antusias.

Aku mencium pipinya lagi. "Good job, Sayang. Itu baru anak Papa. How did you do well in math by the way?"

"Dari Om Bara, dong. He even teach me tricks untuk ngitung cepat gitu, Pa.  I can't wait to see my friends tomorrow. I wanna show them the trick."

Aku tersenyum masam. Bara, adik sepupuku itu, memang sudah seperti papa kedua untuk Deryl. Berhubung dia tidak bekerja terikat pada satu instansi seperti aku yang seorang dosen dan konsultan di sebuah kantor akuntan publik, Bara lebih sering berinteraksi dengan Deryl di siang hari.

"Berarti tadi Om Bara main ke sini?" tanyaku lembut. Kami sudah tiba di depan kamarku. Kubuka pintu dengan tangan kiri yang bebas.

Deryl mengangguk. "Tante Kadek juga ke sini."

"Oh ya?"

"Iya. Bawa Adik Dimas juga. I love him so much. I wish Dimas bisa tinggal bareng kita di rumah."

Kucubit hidung merah Deryl. "Dimas needs his mom and dad. Dia masih kecil. Kalau Deryl kan udah sekolah. Udah mandiri."

"Mandiri?"

"Yap. Mengerjakan sesuatu dengan sendiri dan sebisa mungkin nggak mengandalkan orang lain."

"Like I have to prepare my lunch box instead of letting Mbak prepare it for me?"

Aku mengangguk. "Ya. Semacam itu."

Begitu aku menurunkan Deryl di atas tempat tidur, dia langsung berbaring di sisi kiri kasur. "Pa, malam ini aku tidur bareng Papa, ya."

A Healing PillWhere stories live. Discover now