21. The Story Begins

42.2K 7.2K 312
                                    

Happy Saturday
Thank you buat feedback-nya yang positif di chapter-chapter sebelumnya. Makasih ya semuanya :)

Enjoy
*
*
*

Sekar

Kak Renata menemaniku ke klinik ibunya. Aku sebenarnya gugup banget. Bingung aja mau ngapain di dalam sana.

Pasti aku akan ditanya-tanya, kan? Apa aku bakal terindikasi penyakit mental? No. Aku nggak mau.

Kami masuk ke dalam ruang praktik. Ternyata ada Syifa di sana. Dia sedang menggambar.

"Kakak," panggil Kak Renata pada putrinya.

Syifa menegakkan kepala dan tersenyum. Dia meninggalkan kursi dan berjalan ke arah kami. Dia mencium tanganku sebelum kemudian minta digendong sama mamanya.

Aku mengangguk sopan ke arah ibu Kak Renata yang ternyata lebih cantik daripada di foto.

"Kamu Sekar, kan? Silakan duduk, Nak."

Lembut banget. Jadi kangen Ibu di rumah.

"Kalian langsung pulang?" tanya ibu Kak Renata pada anaknya.

"Iya, Mi. Si Iin mau main ke rumah," Renata menoleh pada Syifa. "Nanti ada Raihan sama adik-adiknya yang kembar. Kakak mau ketemu mereka, kan?"

Syifa mengeratkan pelukannya di leher sang mama. Kak Renata tersenyum lalu menurunkan anaknya.

"Buku gambar sama crayonnya dimasukin dulu ke dalam tas, Kak."

Dengan gesit Syifa memasukkan peralatan gambarnya ke dalam tas Doraemon. Dia kemudian berjalan ke arah neneknya.

"Aku pulang dulu, Oma," Syifa mencium tangan omanya.

Ibu Kak Renata mengusap-usap rambut Syifa kemudian mencium puncak kepala cucunya. "Oke. Hati-hati di jalan ya, cantik."

"Tante aku pulang dulu. Bye bye bye," dia melambaikan tangannya padaku.

Aku tersenyum melihat mereka. Kalau nanti punya anak, aku mau anakku sesantun Syifa. She's so kind and lovable.

"Kamu dosen di kampus Renata juga, kan?" Ibu Kak Renata membuka suara.

Aku mengangguk kaku. "Iya...Bu."

Ibu Kak Renata tersenyum. "Jangan gugup. Santai saja ya, Sekar. Ternyata kamu masih muda banget. Cantik lagi. Masih cocok jadi kakaknya Syifa."

Aku tersenyum kikuk.

"Renata sudah cerita sedikit tentang kamu. Maaf kalau Renata lancang. Nggak pa-pa, kan?"

"Nggak pa-pa, Bu. Saya malah makasih banget karena Kak Renata...mau...mau bawa saya ketemu Ibu."

Aku melirik papan nama dari kayu yang ada di meja. Nama Ibu Kak Renata adalah Marissa.

Bu Marissa tersenyum tulus. "Sama-sama. Sekarang, Sekar boleh nggak cerita tentang diri kamu dulu ke Ibu? Asal Sekar dari mana, hobinya apa. Boleh juga cerita gimana kamu survive di Jerman waktu ngambil S2."

Dengan takut-takut, aku menceritakannya pada Bu Marissa. Beliau mendengarkannya tanpa satu kali pun memotong ceritaku.

Setelah aku menutup cerita, baru beliau berkata, "wow, kamu hebat banget, Nak. Orang tua kamu pasti bangga banget bisa punya anak sehebat kamu."

"Makasih, Bu."

"Sudah pinter banget, cantik, baik. Masih muda sudah bisa menggapai cita-cita. Hebat," ucap beliau. "Sekarang, kamu mau cerita apa yang mengganggu pikiran kamu selama ini?"

A Healing PillWhere stories live. Discover now