"Kamu tahu, mengapa Allah menciptakan matahari terbit dan senyummu? Sebab Dia tahu, letak bahagiaku di situ."
...
Pagi sebelum Si Gadis Songong itu datang dan mencuri separuh ketenangan Kamar Khadijah 04, Zahra dan Fahda tengah berdiri khusyuk menantang dinginnya udara pegunungan. Dengan jaket berlapis dan bau minyak angin yang seolah ditumpahkan di seluruh badan, sebab memang sepagi itu, kawasan pegunungan bukanlah rumah yang ramah bagi mereka yang menyukai kehangatan. Tak ada yang lebih nyaman, selain masih meringkuk bergelung selimut, kemudian melanjutkan tidur hingga siang menjelang. Tapi pantang bagi dua gadis remaja yang seluruh penghuni pondok pun setuju, "Mereka berdua tak akan keberatan, meski menahan gemeretuk gigi, dan mulut bersiul uap dingin demi menunggui matahari terbit di atas bukit sebelah timur pondok."
Zahra dan Fahda akan mencuri-curi waktu, menyusuri parit kecil, dan menerobos setinggi setengah kaki ilalang yang dihuni koloni jangkrik. Lalu tiba di atas bukit yang menyajikan segala candu bagi si dua gadis: hamparan lembah dengan sungai kecil meliuk di antara deretan ladang dan sawah petani. Dari atas bukit, semua itu terlihat begitu kecil, tapi sangat lengkap dan menakjubkan. Kalau-kalau mereka berdua tengah begitu masyuk dalam diam yang panjang, mereka seolah dapat menangkap kebisingan mungil dari kayuhan sepeda dan siul-siul gembira para penggarap sawah yang bersiap hendak bekerja. Bunyi-bunyi itu senyatanya diantar angin yang membawa doa-doa.
"Masya Allah... indah, Fahda."
Itu akan menjadi ritual pungkas Zahra dan Fahda di awal hari, setelah sejak menjelang subuh buta areal pesantren seluas setengah hektar itu telah kembali hidup dengan dzikir-dzikir pujian, murottal mengaji, dan lantunan mereka yang gemar bershalawat. Tak dipungkiri, meski para penghuni pesantren itu kerap melakoninya sambil mengucek mata, atau rahang yang serasa putus sebab digunakan untuk berkali-kali menguap. Tapi seraya beristighfar dan mendekap tubuh menghalau dingin masing-masing, mereka tetap merapalkannya bersahutan. Rupanya dengan begitu, 1607 penghuni yang selalu akrab dengan hawa dingin tak bersahabat itu telah menemukan bentuk kehangatan yang lain.
Di atas bukit nun jauh di seberang, semburat oranye mulai melukis ufuk. Cahaya remangnya menyirami belukar yang menyemak, menyadap harmoni suara jangkrik, lantas mengantar koloni itu dalam tidur pagi nan panjang. Zahra dan Fahda masih berdiri, makin terkagum.
Sejak tujuh tahun lalu ketika awal mereka nyantri, bahkan jauh sebelum itu, ketika mereka masihlah bocah yang mengenakan setelan bergambar Spongebob dan berlarian di sepanjang pemantang ladang, mereka telah sedemikian jatuh kagum pada peristiwa yang menandai awal hari itu: Matahari Terbit. Untuk alasan yang sama, keduanya pun menjadi kawan dekat, dan kian bertambah dekat saat memutuskan masuk ke pesantren yang sama di Pondok Al-Bayan Putri (PAB Putri) pada usia kesebelas.
Minggu pertama, masa-masa pengenalan lingkungan pondok, mereka berdua langsung dibuat terpikat dengan lanskap di sekeliling. Dilingkungi bukit dan lembah, pondok itu selayaknya penjara suci nan kokoh yang jauh dari ingar-bingar kota. Bangunan induknya sangat besar, berisi kamar-kamar dan kantor, lalu berdiri masjid dan sekolah di bangunan terpisah. Areal belakangnya difungsikan sebagai kamar mandi sekaligus tempat mencuci baju yang terhubung langsung dengan kebun sayuran dan sejumlah kandang hewan ternak. Kalau sedang ada perayaan, kebun itu biasanya akan dipanen. Pak Kyai Abdullah akan datang bersama tukang sembelih, lantas dua hari berturut-turut, keluarga besar PAB Putri akan menyantap ayam panggang lengkap dengan sambal dan lalap sayuran.
Fahda ingat kejadian di suatu sore menjelang maghrib. Ia tak sengaja melihat anakan ayam lepas dari kandang sewaktu hendak mengangkut cucian bersih dari tempat jemuran. Pasti anakan ayam itu telah menjadi rabun matanya. Fahda mengerti, sebab ia lumayan pandai pelajaran biologi, meski kerap juga mendapat nilai merah di rapor semesternya. Untuk beberapa menit yang melelahkan itu, Fahda mesti menyingkap kain roknya, menerabas ilalang, demi mendapatkan si anak ayam yang belum genap tiga puluh hari melihat dunia. Sebagai ganjaran, ia beroleh spot terbaik untuk menyaksikan matahari terbit: di bukit sebelah timur bangunan pondok, tempat ia dan Zahra berdiri sekarang.

ESTÁS LEYENDO
Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️
Ficción GeneralPART MASIH LENGKAP #1st in Hikmah #1st in Nasihat Untuk kedua orangtuaku: Sri Pujiastuti dan Yudi, yang tak pernah malu terlihat kusam, demi nyala terang masa depan putrinya. Dan untuk pemuda yang mengajariku arti keikhlasan dalam berjuang, karya...