Bab 23 - Tangis Malaikat

18.9K 739 7
                                    

Posisi matahari mulai meninggi ke atas petala langit. Bulan-bulan ini adalah puncak musim kemarau. Kalau prediksi BMKG tepat, hujan akan mulai mengguyur bumi sekitar awal bulan depan.

GERAH! Begitu kiranya yang dapat ditafsirkan dari wajah kuyu wanita yang sedang menunggu tukang sayur lewat di depan rumahnya itu. Keringatnya banjir membasahi wajah. Air Conditioner produksi negeri sakura yang terpajang di dinding ruang tamunya tak dapat membantu. Sudah sejak tadi pagi, pemadaman listrik bergilir menyebabkan separuh aktivitas di kawasan perumahan elit itu mati. Zahra beberapa kali mengibaskan tangannya, berharap gerakannya itu mampu memicu pergerakkan angin demi menuntaskan rasa gerahnya. Sayangnya nihil, gerah tetap melanda.

Tak cukup rileks dengan posisi duduknya, beberapa kali wanita itu beranjak menuju jendela kaca. Sorot matanya mengedar, mencari-cari sosok Rajiman, tukang sayur langganannya itu seharusnya sudah merapat ke halaman rumahnya sejak dua jam yang lalu. Tak biasanya ngaret seperti ini. Mencoba realistis, bahwa kecil kemungkinan Rajiman akan bertandang, Zahra akhirnya memutuskan melakukan alternatif yang lain. Ia akan pergi ke pasar.

Setelah memesan taksi daring dari handphonenya, tak lebih dari setengah jam wanita itu telah sampai di tujuan. Pasar Giwangan, salah satu penggerak roda perekonomian di kawasan Umbulharjo itu merupakan sentra sayur-mayur dan buah-buahan. Meskipun dari segi harga lebih ekonomis, juga menimbang banyaknya pilihan yang dapat dibeli, tetap saja Zahra lebih suka membelanjakan uangnya untuk membeli dagangan Rajiman. Alasannya sederhana, karena kakek paruh baya itu telah menjelma serupa angin segar di tengah Gurun Sahara. Lima menit obrolan disela transaksi jual beli setiap pagi yang mereka lakukan, cukup untuk mengusir hari-hari bisu Zahra. Sikap ramah Rajiman, dan wejangan-wejangan yang ia berikan agaknya memang berarti lebih bagi wanita yang minim komunikasi dengan para tetangga di sekelilingnya itu.

Di kawasan tempat tinggalnya, Zahra memang tak menjumpai aktivitas tegur sapa layaknya ritual di desa-desa. Rumah-rumah tetangganya itu berpagar menjulang dan lebih sering tertutup rapat. Tentu saja, pagi hari seperti ini rumah-rumah itu pasti kosong penghuni. Para suami sudah berangkat bekerja sesaat setelah matahari terbit. Dan umumnya para istri mereka juga merupakan wanita karier yang hanya dapat dijumpai di rumah pada jam-jam malam, sepulang kerja. Dan setelah cukup lelah dengan rutinitas yang mereka lakoni di pagi hari, jam pulang kerja akan mereka manfaatkan untuk beristirahat. Tak ada silaturahmi ataupun mengobrol hangat. Dapat dipastikan, berdomisili di lingkungan seperti ini membuat siapapun yang bernasib malang ditinggal suami, akan merasa sepi dan sunyi. Zahra telah cukup berkarib dengan realita itu setiap hari.

Selain dengan Rajiman, Zahra juga sering terlibat interaksi dengan Waseso, satpam yang menjaga kompleks tempat tinggalnya. Hanya beberapa patah teguran, ucapan salam, dan pertanyaan mengenai kabar yang ajeg dilontarkan kedua bapak paruh baya itu telah cukup membuat Zahra merasa betah. Ia tak benar-benar merasa sendirian.

Berjejal-jejal, Zahra mulai menyusuri lorong-lorong kios yang dipadati pembeli yang sama-sama minta dilayani lebih dulu itu. Suara bising ditambah konsentrasi oksigen yang tak sebanding dengan jumlah manusia yang berlalu lalang, akan mengurungkan niat siapapun untuk betah berlama-lama. Panas, pengap, dan sumpek. Kondisi itulah yang membuat wanita yang sejak pagi tadi belum memasukkan apapun dalam perutnya itu tiba-tiba merasa pening. Zahra menghentikan langkahnya dan langsung mendudukan diri di kursi kosong samping kios kelontong milik seorang ibu paruh baya. Ibu itu tampak kerepotan melayani pembeli sambil mencoba menenangkan balita yang tengah menangis di gendongannya. Beberapa pembeli yang tak sabar memilih pergi meninggalkan kios. Toh masih banyak kios kelontong yang memberikan pelayanan lebih cekatan, tentunya juga tak harus membuat mereka menutup telinga, lantaran jerit tangis balita yang merasa kegerahan, begitu pikir mereka.

Peningnya sudah tidak terlalu penting, suara tangisan balita yang belum mau diam itu telah mengalihkan fokus Zahra. Semua pembeli yang tadi mengantre telah kabur, menyisakan dirinya yang menjadi pelanggan satu-satunya.

Surat Cerai EDISI REVISI [TAMAT]✔️Where stories live. Discover now