VII # Manusia Berdarah

101 39 1
                                    

"Daging panggang memang lezat."

Mata Lamda dan Ailsa melebar. Apa pendengaran mereka berfungsi dengan baik? Apa kalimat itu benar-benar keluar dari mulut Moestan Prasga.

Lamda menghampiri pria tua yang tengah duduk di lubang jendela yang sudah tak memiliki penyangga--bolong. "Moestan?"

Moestan Prasga terkejut. "Eh, Nak Lamda."

"Anda baik-baik saja?"

Moestan Prasga mengangguk dengan tersenyum.

Lamda mengangguk ragu dan melihat Ailsa. Ailsa mengunci mulutnya.

Moestan Prasga kemudian tertawa kecil. Ia memegang bahu Lamda.

"Ada apa? Kalian mendengarku berbicara sendiri ya tadi?" Moestan Prasga terkekeh, "Ayolah, Nak, apa yang kalian curigai dari manusia hanya tinggal tulang ini? Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa saya mengatakannya."

Vansel tiba-tiba hadir dengan mata yang setengah terbuka. Ia baru bangun. 

"Ada apa ini?"

Moestan Prasga turun dari jendela dan berdiri di hadapan mereka. "Aku sedang menjelaskan, kalau raja Cala, pernah berkata, daging panggang memang lezat sebelum ia dilengserkan."

Mata Vansel spontan membulat. Daging panggang memang lezat.

"Argh!" Vansel memegangi kepalanya.

Lamda langsung memeganginya. "Ada apa, Pangeran?"

"Kepalaku. Sepertinya aku mengingat sesuatu."

#####

Elips merapikan barang-barangnya dan memasukkannya dalam koper coklat. Gulie dan Samna diam membeku di sudut kamar melihat kelakuan kakak pertamanya itu.

"Elips, kau yakin ingin melarikan diri dari kerajaan?" tanya Gulie.

"Ya, untuk apa tinggal di sini terus menerus dengan kesengsaraan." Elips sibuk menata pakaiannya.

Gulie dan Samna mendekatinya. Kemudian memeluk Elips.

"Hei, kalian. Berhentilah menghalangiku. Aku akan tetap pergi, jika kalian tidak mau ikut, tetaplah di sini!" Elips melepaskan pelukan dua saudarinya.

"Banyak akibat yang akan kita dapat kalau keluar dari istana," seru Samna.

Elips berbalik dan menatap keduanya dengan kesal. "Aku ... akan ... tetap pergi. Mengerti?"

"Kenapa? Bukankah sering kali peneliti mati di Cala?" sahut Gulie.

Elips menggeleng. "Bukan itu. Hanya saja setelah kehadiran Atlantik, semuanya berbeda. Baba dan Mamma lebih memperhatikan anak itu. Bahkan seharian penuh. Dan, untuk pertama kalinya hari ini, Baba melarang kita dengan keras sampai-sampai menutup pintu erat-erat agar kita tak bisa masuk. Kini mereka juga sangat sibuk dengan pencarian anak itu. Bukankah sebelum ada Atlantik, kita bahagia?"

Gulie berpikir. "Benar juga."

"Tapi, tindakan untuk keluar dari kerajaan itu tidak baik. Bukan solusi," ucap Samna.

"Tidak apa, Samna, pikiran kita berbeda. Kau tetaplah berdiam diri di sini. Mungkin sesekali kita bisa ketemu jika ada kesempatan," Elips melirik Gulie, "bagaimana denganmu?"

Gulie tersenyum ragu. "Aku akan tetap di sini."

Elips mengangguk. Ada setitik kekecewaan di hatinya. "Baiklah, jangan halangi aku berkemas."

KANIBAL Where stories live. Discover now