▪︎04

160 21 2
                                    

Delapan jam adalah waktu normal yang dibutuhkan seorang manusia untuk tidur dan beristirahat di malam hari. Namun rasanya istirahat selama itu hanyalah mitos bagi para pengais rejeki di ibukota kita tercinta ini. Yang ada hanyalah bangun pagi-pagi, bersiap untuk berangkat pagi agar terhindar dari kemacetan, dan pulang lebih malam untuk memenuhi target yang diberikan oleh kantor ataupun klien.

Hal ini juga yang dirasakan oleh Mona, Julian, serta orang-orang yang ada di sekitar mereka. Jarang sekali mereka memiliki waktu istirahat dan berkumpul yang cukup bersama keluarga dan teman-teman mereka. Terlalu banyak mimpi yang harus mereka gapai hingga harus melepaskan banyak kesenangan masa muda yang mungkin dapat dirasakan oleh orang lain.

Seperti malam ini. Di saat orang lain sedang asik terlelap dalam bunga tidur mereka yang membuaikan, Julian masih harus menyelesaikan sebuah proyek yang mungkin dapat menentukan hidupnya. Ia berkutat di hadapan laptopnya untuk mengirim beberapa hasil pekerjaan dan karya fotografinya di sebuah website salah satu majalah terbesar di Indonesia untuk mengikuti salah satu perlombaan paling bergengsi. 

Karena hadiah yang bisa didapatkan tidak main-main, Julian benar-benar berharap banyak dalam perlombaan kali ini. Apalagi ini bisa jadi ajang pembuktian pada orangtuanya yang sejak awal sangat menentang keinginannya untuk menjadi freelancer dan fotografer. Ditambah, keinginannya untuk menunjukkan pada Elo bahwa ia tidak main-main dengan pekerjaannya dan dapat menghidupi Ramona kalau mereka menikah nanti.

"Ahhh! Akhirnya beres!" Pria bertubuh tinggi itu meregangkan otot-ototnya setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya malam ini.

"Ian..." Sebuah suara bass milik Raymond terdengar dari luar kamarnya.

"Masuk aja, Mond! Nggak gue kunci."

Setelah mendapat izin dari sang pemilik kamar, Raymond masuk dan duduk di ujung ranjang milik sahabatnya itu. "Lo lagi sibuk, ya?"

"Baru aja beres ini. Kenapa-kenapa?" Julian memutar kursinya menghadap Raymond

"Jadi gini yan, lo tau kan gue bentar lagi mau nikah sama Ayu. Nah, rencananya nih, akhir tahun ini kita mau nikah." Ucap pria itu sedikit malu.

"Wih, gercep juga lo, bro! Selamat ya! Gue doain lancar-lancar, awet sampai kakek nenek!" Julian memeluk sahabat karibnya itu.

"Thank you, Yan."

"Terus-terus, rencanannya gimana?" Julian tampak sangat excited mendengar rencana Raymond.

"Gue mungkin tahun depan udah nggak tinggal bareng kalian lagi. Tapi tetep kok, uang patungan kontrakannya Kevin gue bayar. Tapi ya, jadinya mungkin agak berat, karena tinggal lo bertiga aja." Raymond tampak sedikit sungkan.

Julian tersenyum dan menghela nafas tipis, "Itu urusan gampang, Mond. Lagian urusan bayar kontrakan juga masih lama kali. Masih tahun depan juga."

"Thanks ya, bro. Gue titip-titip si Kevin, tahun depan kan dia udah skripsian."

"Tenang aja, Kevin sama Arvin itu dua-duanya adik gue, Mond." Julian menenangkan Raymond dengan menepuk pundaknya.

"Oh iya, Yan. Rencananya, gue sama Ayu juga mau pake jasa lo nih buat pre-wedding. Nanti kalo keluarga Ayu juga oke, d-day kita juga maunya pake jasa lo."

Tawaran Raymond tentu saja terdengar cukup menggiurkan dan mewas-waskan bagi Julian. Pasalnya, ia tahu Raymond dan keluarganya termasuk kalangan yang berada, ini bisa jadi sebuah kesempatan untuk memasarkan jasanya lebih luas lagi. Namun ia sedikit khawatir kalau saja mereka meminta harga di bawah harga pasar saat ini.

"Yan? Kenapa?" Raymond menangkap wajah bingung Julian.

"Nggak apa-apa kok, Mond."

"Tenang aja, bayarannya nggak bakal underprice, kok." Ucapnya seakan bisa membaca pikiran sang sahabat.

Falling Leaves In December Night [FINISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang