Coincidence

13.2K 1.4K 298
                                    

Menjelang pukul sembilan malam, Ian berjalan menyusuri lorong menuju unitnya. Langkahnya pelan dan lelah. Tubuhnya terasa remuk. Sudut bibirnya masih mengeluarkan sisa-sisa darah yang asin di mulutnya setelah tadi Natahaniel sempat memukulnya sebelum di lerai oleh satpam.

Ian masih tidak habis pikir, mengapa ia bisa teledor menulis resep obat yang sudah ia hapal dalam kepalanya. Ia yakin beribu yakin, tetapi tulisan yang tertera di kertas itu mengatakan sebaliknya. Ia mengenal goresan cakar ayamnya sendiri. Dan yang ada disana memang tulisan tangannya. Benaknya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.

Ian menghidupkan lampu dan memutar bola mata melihat seseorang sedang menonton televisi membelakanginya.

Ia membuka kemeja, menyisakan kaos ketat yang menonjolkan otot-otot tubuh hasil workout setiap hari.

"Ngapain lo disini?" Tanya Ian menghenyakkan bokong di sofa. Ia membuka sekaleng jus kotak dingin dan meminumnya.

Pria di depannya masih sibuk mengunyah potongan ayam goreng yang tersedia dalam sebuah bucket di depannya. Ian melongok ke dalam bucket tersebut lalu melongo.

"Habis?" Gumamnya heran.

Sam mengangguk dan terus mengunyah porsi terakhir ditangannya. Matanya menatap televisi mengabaikan Ian.

Sam juga heran. Setelah Fara hamil, selera makannya melonjak tajam. Tadi ia membeli satu ember ayam goreng di restoran cepat saji. Tanpa terasa, dalam tempo setengah jam, delapan potong ia habiskan sendiri menyisakan satu saja saat Ian datang.

Ian menggelengkan kepala. "Hati-hati lho, nanti buncit!"

"Gue rajin workout, kok." Jawab Sam santai.

"Workout di kasur?" Sindir Ian.

Sam nyengir.

"Tumben lo kesini?" Lanjut Ian.

"Nggak boleh? Gue pergi, nih!" Ancamnya mendelik.

"Ah elah! Nggak bini nggak laki, sama saja sensinya!" Gerutu Ian.

Seminggu yang lalu, Fara mengabaikan dirinya hanya karena masalah sepele. Ia tidak sempat mengangkat telepon wanita itu karena sibuk melayani pasien. Fara baru mau bicara lagi dengannya setelah Ian datang dengan seporsi martabak keju. Murahan sekali!

"Gue di usir!" Jawab Sam.

Ian terbahak. "Hah? Mampus lo, nggak dapat jatah!"

Sam mendengus masam.

Ia menelisik penampilan Sam yang masih mengenakan pakaian kerja. Lengan bajunya digulung hingga siku, sementara dua kancing teratas kemeja itu terbuka.

"Di usir gimana?"

"Gara-gara nggak dibeliin sop iga. Malam-malam begini harus ke Bogor? Gila aja!"

"Namanya juga ngidam, Sam. Lo ngerti dikit, napa?"

"Tapi nggak harus ke Bogor juga, kan?"

"Lo mau si kembar ngences?"

"Itu kan cuma mitos, aduh!" Sam mengusap kepalanya yang dipukul dengan gulungan koran oleh Ian.

"Lo hargai Fara, dong! Bukan maunya minta yang aneh-aneh. Lagipula, dia cuma minta makanan, bukan Mercedes Benz. Nggak sebanding dengan beratnya efek kehamilan yang dia tanggung. Cuma diminta beliin itu aja lo udah ngomel!" Ian melotot menceramahi Sam panjang pendek.

Samudera terdiam mencerna kata-kata Ian. Raut bersalah mulai terpampang jelas di wajahnya. Sebenarnya, bukannya tidak mau mengikuti keinginan Fara, tetapi isterinya meminta tak kenal waktu.

Chasing Loyalty (END) - TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang