Bab 6: Panna Cotta | 2

6.2K 631 8
                                    

"Pertama, sebelum mulai masak apa pun, siapin bahan-bahan dan alat yang bakal lo gunain secara ergonomis." Brahma memberi instruksi pada Shalu sambil duduk dan menikmati segelas lemon tea di pantry.

Shalu pun menelusuri resep, memastikan semua bahan yang telah siap di atas island sudah sesuai. Gelatin bubuk, susu cair, gula pasir, vanili bubuk, krim kental, buah strawberry dan madu semuanya sudah siap di mangkuk-mangkuk kecil.

"Kayanya sih, udah semua," jawab Shalu datar. Dia sama sekali tidak bersemangat meski dapat dilihatnya Brahma begitu berapi-api. Dia pasti akan menikmati sekali untuk mengejek hasil panna cotta pertama buatan Shalu.

"Oke, berikutnya pastikan takarannya sudah benar. Ada timbangan, kan? Takar masing-masing komposisinya," terang Brahma. "Oh iya, sambil dibaui, Shalu. Biar hidung lo akrab dengan macam-macam bahan. Untuk jadi seorang juru masak yang handal, indra yang paling berperan adalah olfaktori atau hidung, kemudian indra pencecap lo. Coba dipikir deh, yang pertama kali bikin orang-orang lapar itu dari mana? Dari aroma yang menggoda, kan? Setelah itu baru mereka mau mencicipi. Itu kuncinya. Goda penciuman mereka dan bikin mereka nggak bisa nolak masakan lo."

Dasar cerewet! Shalu menggerutu dalam hati, tapi tetap saja melakukan instruksi Brahma. Dia terhenyak sejenak saat mencium aroma vanili bubuk yang begitu harum dan strawberry beraroma asam-manis. Hmm ....

"Hurry up, Shalu. Cap cap cap! Waktu lo nggak banyak!" Brahma bertepuk tangan sambil mengedipkan matanya pada Shalu yang sedang sibuk melarutkan gelatin bubuk dengan air panas sesuai yang tertulis di resep. Gadis itu dongkol setengah mati dibuatnya, ingin sekali melempari Brahma dengan strawberry.

Setelah gelatin tersebut sudah berubah wujud menjadi larutan, Shalu mencampurnya dengan 150 mili susu cair dalam wadah besar. Diaduknya perlahan campuran bahan itu sampai merata sesuai petunjuk resep. Namun, gerakan mengaduknya terhenti saat dia mendengar Brahma terkikik.

"Kalau cara ngaduk lo kaku dan pelan kaya gitu, kursus ini bakal selesai besok subuh, Tuan Putri. Adonan lo juga nggak bakal rata, yang ada malah menggumpal dan bergelembung," ucapnya sembari mendekati Shalu, mengambil alih wadah dan pengaduk dari tangan gadis itu.

"Let me show you," katanya kemudian. Tangan Brahma mulai mengaduk dengan cekatan dan cepat. Bahkan pandangannya tetap tertuju pada Shalu, tapi tidak ada satu tetes pun campuran gelatin dan susu yang menghambur keluar dari wadahnya.

"Dasar tukang pamer!" ucap Shalu sebal.

Brahma tertawa lepas, lalu kembali ke posisinya semula. "Oke, next step!"

Shalu mulai beranjak ke kompor, memanaskan krim kental dan gula di atas api kecil. Tangannya sudah pegal, tapi dia tetap harus mengaduk kedua bahan ini sampai larut. Sepuluh menit kemudian dia mematikan kompor, menambahkan campuran susu dan gelatin, juga bubuk vanili. Sekarang, semua komposisi sudah berada dalam sebuah wadah yang sama. Lagi-lagi Shalu harus mengaduknya sampai rata.

"Coba lo cocol Shal, cicipin rasanya," ujar Brahma di sela kesibukan Shalu menyaring adonan dan memasukkannya ke dalam cetakan berbentuk hati.

Shalu mencelupkan ujung jari telunjuk ke dalam adonan dan mencicipinya. Ada binar yang terpancar dari mata kecokelatan gadis itu begitu adonan buatannya sendiri  menyentuh indra pencecapnya sendiri. Dia sungguh tidak percaya. Rasanya benar-benar seperti panna cotta!

"I-ini, not bad." Not bad saja sebenarnya tidak cukup untuk gadis yang tidak pernah menjamah kompor seperti dirinya. Shalu ingin melonjak-lonjak kegirangan, tapi masa iya dia mau melakukan itu di hadapan Brahma?

"Oke, nanti gue nilai setelah benar-benar jadi. Tante Mira juga yang bakal nilai hasil dari semua masakan lo."

Adonan tersebut lalu dimasukkan ke dalam kulkas untuk tiga jam ke depan. Shalu melanjutkan membuat sausnya dengan memblender buah strawberry. Beberapa dipotong menjadi dua bagian untuk hiasan plating. Setelah selesai, saus itu dipindahkan ke dalam wadah dan dimasukkan juga ke kulkas.

"Lo mau nunggu sampai tiga jam? Jam sembilan kira-kira." Brahma melirik arloji sementara Shalu sibuk membersihkan island.

"Biar Bi Nah, Shal. Lo istirahat aja. Tapi emang sih, chef yang baik nggak akan ninggalin ruang kerjanya dalam keadaan kaya gini," ucap Brahma.

"Gue bukan chef yang baik sayangnya, jadi gue tinggal aja deh." Shalu buru-buru melepas celemek, mencuci tangan, lalu duduk di samping Brahma dan menyeruput lemon tea-nya. Akhirnya selesai juga!

"Jadi, nggak seburuk yang lo bayangin, kan?"

Shalu menggeleng. "Mungkin gue cuma perlu terbiasa aja," jawabnya.

"Baguslah kalau gitu. Kesan pertama selalu penting." Brahma menyerongkan duduknya, menghadap Shalu. "Jadi apa tugas lo sebenarnya sebagai dokter hewan?" tanya Brahma.

"Kenapa pembicaraan kita jadi banting setir gini?" Shalu menjawab tanpa menoleh. Dia masih sibuk mengamati dapur yang berantakan karena ulahnya barusan.

"Gue pengin tahu aja. Nggak boleh?"

"Hmm ... " Tangan Shalu terlipat di depan dada, lalu dia menghadap Brahma. "Sudah pasti akan jauh beda dari lo. Kalau tangan lo dituntut harus higienis buat ngolah masakan, tangan gue dituntut untuk selalu berani kotor," lanjutnya.

Shalu berdeham sejenak, lalu meneruskan orasinya. "Tapi asal lo tahu aja, semua daging yang masuk ke dalam dapur higienis lo itu berkat gue. Gue yang ngasih vaksin ke hewan-hewan supaya mereka nggak gampang sakit dan dagingnya aman dimakan, gue yang mastiin daging-daging impor bebas cacing pita, gue yang bikin ayam-ayam bebas flu burung. Gue! Jadi jangan coba-coba lo ngeremehin profesi gue! Lo pasti mikir kalau kerjaan gue cuma mandiin kucing atau masukin termometer ke dubur mereka, kan?" Shalu memutar bola matanya. Sebal. Dia selalu kesal setiap kali ada yang bertanya tentang profesi.

"Kok lo jadi senewen gitu, sih? Gue kan cuma nanya aja. Soalnya gue pikir orang-orang kaya lo itu langka." Brahma berusaha meluruskan pemikiran Shalu mendapati gadis itu lagi-lagi marah. Masa setiap ketemu selalu marah-marah?

"Udah nggak usah bahas gue lah. Terus apa yang lo kerjain di restoran Tante Mira sebagai the great executive chef?" Shalu berkata dengan nada menjengkelkan, yang justru membuat Brahma tertawa.

"Gue mastiin bahan-bahan menu hari itu cukup. Gue ngawasin tim gue sepanjang hari, gue mutar otak setiap saat buat mengejutkan pengunjung dengan menu-menu baru, gue handle jalannya perputaran keuangan, menu, tim dan semua yang ada urusannya dengan dapur sepanjang tahun."

"Itu kedengarannya kaya tugas Superman. Kenapa Tante Mira milih lo buat jadi executive chef?" tanya Shalu selanjutnya.

"Karena gue lulus dari sekolah masak dengan nilai yang bagus banget, karena gue udah kursus sampai sepuluh juta kali sehingga menguasai resep dalam dan luar negeri, karena gue peraih bintang dua, semacam penghargaan buat chef gitulah. Tapi tetap aja, gue masih kalah sama Tante Mira," jawab Brahma panjang lebar.

Shalu menyeruput kembali lemon tea-nya. "Kenapa?"

"Ehem! Lo serius belum tahu?" Brahma justru balik bertanya.

"Belum. Apa sih?"

"Shalu, Tante Mira adalah satu di antara lima orang chef di Indonesia yang udah meraih bintang tiga Michelin."

"Emang apa artinya itu?"

Brahma menepuk jidatnya sambil mendengus. "Itu artinya camer lo adalah chef di atas chef."

===&===

Hmm, gimana ya, reaksi Tante Mira pas nyicip panna cotta yang Shalu bikin? Semoga doyan 😣

Btw aku ngetik bab ini di stasiun, sambil nungguin kereta, sambil ngantuk-ngantuk gitu 😅

Jadi maaf kalau banyak typo dan hal aneh-aneh lainnya. Maacih yang udah bersedia mampir, jangan lupa voment-nya! ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang