Bab 21: Rawon | 1

3.8K 428 18
                                    

Pernikahan bukan tentang lo nggak bisa hidup tanpanya, tapi lebih ke bisa nggak sih, lo hidup sama dia?
(Brahma)

Shalu menyugar rambutnya berkali-kali sambil menggigiti bibir. Pikirannya carut marut karena apa yang dikatakan Brahma kemarin sore. Betapa berbanding terbaliknya pandangan Brahma dan Evans tentang pernikahan. Sialnya, hati kecil Shalu terang-terangan lebih memihak pada persepsi Brahma. Huft!

Gadis itu lalu melangkah gontai menuju garasi. Sudah pukul setengah empat sore, kalau ditunda lagi dia bisa telat kursus kali ini. Brahma pasti akan marah sekarang jika dia melakukan kesalahan. Shalu mendapati perubahan drastis sikap chef bintang dua itu sejak dia bilang sudah jadian dengan Niken kemarin. Sorot matanya, perilakunya, kata-katanya. Ya Tuhan ... Shalu meringis. Ada gelenyar aneh yang seolah merambati punggungnya. Brahma sudah punya Niken, lalu apa sekarang artinya Shalu di mata sang chef?

Eh, mikir apa sih, lo! Emang lo pikir Brahma pernah nganggap lo sebagai sosok yang berarti? Lo siapa, Shalu? Lo ngarep?

Shalu menelungkupkan kepalanya di kemudi, lantas menyalakan mesin dengan perasaan yang sama sekali tidak dia mengerti.

Hatinya bertambah mencelus saat dia sampai di rumah Tante Mira. Kok motor Brahma belum ada? Shalu membatin sambil melirik arlojinya. Sudah pukul lima kurang seperempat sekarang, biasanya Brahma sudah stand by di dapur jam segini. Alih-alih mendapati Brahma, matanya justru menangkap sosok Tante Mira yang sedang berbincang santai dengan Bi Nah di teras. Tumben juga calon mertuanya ada di rumah.

"Shalu ..." Tante Mira menghampirinya sambil merentangkan tangan, lalu memeluk sang calon menantu seolah sekian lama tidak bertemu. "Kamu harus jaga kesehatan dan rajin-rajin ke salon. Spa, facial, manjakan tubuhmu biar nanti fresh di hari H," sambung Tante Mira sambil menepuk-nepuk lembut kedua pipi dokter hewan itu.

Shalu mengangguk takzim. Pernikahan. Betapa satu kata tersebut terus mengganggu pikirannya sekarang. Mama bilang itu adalah hal yang wajar, stres pra nikah namanya. Namun, Shalu merasa yang dirasakannya bukanlah stres. Dia tidak tegang, justru enggan. Entahlah, semua terasa tidak masuk akal bagi Shalu. Seperti mimpi.

"Shalu, hari ini kamu belajar masak sama Tante. Brahma lagi nggak enak badan katanya, jadi dia nggak bisa ke sini. Kebetulan hari ini Tante lagi free, jadi akhirnya kita bisa masak bersama lagi," seloroh Tante Mira dengan riangnya. Wanita yang masih ayu di usia menginjak kepala lima itu tidak tahu efek informasinya barusan bagi Shalu. Rasa cemas mendadak merayapi hati sang calon menantu.

Brahma nggak enak badan? Kenapa?

"Oh, iya. Kamu juga mesti belajar manggil Tante dengan sebutan Mama. Biar terbiasa." Tante Mira tertawa ringan, manik matanya tampak berbinar-binar.

Lima menit berikutnya mereka sudah sibuk di dapur. Tante Mira menyuruh Shalu menyebutkan satu per satu bahan dengan lantang, persis seperti siswa SD yang kebagian menjadi pembaca UUD di upacara bendera. Ya ampun!

Shalu menyeka keringat yang menitik di dahinya saat dia mulai mengeksekusi resep rawon yang super rumit ini. Memasak bersama Tante Mira rasanya seperti uji nyali saja. Super tegang, seolah dia adalah peserta acara masak memasak di TV yang sedang dipelototi chef galak. Tante Mira tak henti mengkritisi hal-hal yang bahkan tidak pernah terlintas di benak Shalu; caranya memegang pisau dan spatula, bentuk potongan bawang dan cabainya yang tidak indah, caranya mengeruk kluwek yang salah kaprah, dan masih banyak lagi.

Brahma, tolongin gue .... Netra gadis itu mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba dia sangat merindukan suasana menyenangkan belajar masak bersama Brahma. Pikirannya melayang pada peristiwa dansa amatiran mereka, saat mereka terpingkal bersama, saat menyantap Lova Cake di hari pertamanya, saat mengeksekusi ratatouille dan mencicipinya dengan puas, saat ...

"Shalu? Kok kamu nangis? Kenapa, Sayang?" Tante Mira membuyarkan lamunan dan menyadarkan gadis itu dalam sekejap.

Astaga! Shalu terhenyak saat merasakan air matanya benar-benar menetes satu dua menuruni pipi. Dia menangis karena memikirkan ... Brahma?

"Ah, ng-nggak, Tante. Aku cuma kepedesan gara-gara ngiris bawang merah ini." Shalu nyengir sambil mengusap air matanya dengan cepat.

"Aduh, kamu harus terbiasa, Sayang. Sering-sering masak ya, kalau di rumah. Sekarang ayo mulai rebus dagingnya."

Shalu melaksanakan perintah Tante Mira tanpa banyak berkata-kata. Dia merebus daging dalam air mendidih sampai dirasa daging tersebut cukup empuk. Setelah itu, diirisnya daging yang telah matang menjadi seukuran satu suapan. Dia lalu menyaring air kaldu dari rebusan tadi dan kembali memasukkan potongan daging, lengkuas, serai, serta daun jeruk ke dalam kaldu.

Masih di bawah tatapan tanpa kedip Tante Mira, Shalu mulai menumis bumbu yang tadi sudah dihaluskannya; bawang merah, bawang putih, kluwek, kemiri, kunyit, ketumbar, merica, jahe, gula, dan garam. Setelah aroma harum menguar, tumisan bumbu itu dimasukkan ke dalam rebusan daging dan kaldu.

"Nah, tunggu sampai dagingnya benar-benar empuk. Kalau sudah, kamu masukkan irisan daun bawang sesaat sebelum rawonnya diangkat. Gampang kan, Shalu? Masak itu kalau dilakukan dari hati akan sangat menyenangkan," ucap Tante Mira seraya tersenyum lebar. Namun, senyum itu hilang tanpa bekas saat rawon pertama buatan Shalu menyentuh indra pencecapnya. "Sayang ... ini buruk sekali."

===&===

Alhamdulillah bisa up, sinyal lagi missqueen banget ini di kampung halaman 😭

Brahma kenapa, ya? Tinggalin voment biar aku semangat cari sinyal besok! 😍

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora