Bab 11: Kitty Clinic and Shop | 1

4.7K 469 11
                                    

Mungkin pernikahan merupakan salah satu cara paling sakral untuk saling memahami satu sama lain. Namun, terkadang kehidupan memiliki caranya sendiri untuk mengilhamkan kesepahaman antara satu isi kepala dengan isi kepala lainnya.

Seperti sepotong senja kali ini yang akan menyadarkan Brahma bahwa dia sebenarnya belum memahami Shalu sama sekali. Cintanya, kekhawatirannya, keinginannya untuk melindungi, baru dia sadari hanya datang dari sebuah keposesifan--atau keegoisan? Shalu, gadis itu seperti samudera. Tenang. Dalam. Dan Brahma hanya baru menyentuh permukaannya yang sedikit bergelombang.

"Nih, pakai helm lo. Dicatokin sampai bunyi klik!" Cowok itu menyodorkan helm pada Shalu. Keduanya bersemangat untuk segera sampai di dapur Tante Mira dan mengeksekusi resep coto Makassar, terutama Brahma. Kali ini dia tidak ingin gagal lagi menyaingi cita rasa coto warung lesehan tersebut.

Shalu baru saja memberi selembar lima ribuan pada tukang parkir saat dia melihat motor bebek yang dikendarai seorang pria tambun, melaju kencang dari arah berlawanan. Kemudian, entah dari mana datangnya, seekor kucing melenggang menyeberangi jalan kecil itu. Mulutnya menggigit erat hasil buruan, seekor tikus gemuk yang masih meronta-ronta.

"Oh my God ... no!" Shalu membekap mulutnya. Jarak antara motor yang super ngebut dan si kucing sudah terlalu dekat.

Benar saja, hanya dalam satu kedipan mata, kejadian nahas itu tidak terhindari. Motor bebek tersebut menyerempet si kucing yang meski sudah mempercepat larinya, tetap tidak bisa mengelak. Kucing itu melolong kesakitan, menyebabkan tikus gemuk lepas dari cengkeraman.

"Anjing!" Si pria tambun mengumpat sambil menendang makhluk tak berdaya yang diserempetnya. Motornya tidak sampai ambruk, hanya oleng untuk beberapa saat dan kembali melesat tanpa dosa.

"Oh my God, oh my God!" Shalu memekik kalap. Dia segera berlari menghampiri kucing malang yang sudah terkapar di tengah jalan, menggelepar-gelepar kira-kira sepuluh meter dari tempat parkir. Kucing itu berusaha berdiri tapi tidak bisa. Shalu menduga tulang kakinya patah.

"Oh my God, are you okay, Pus? Astaga, kakimu ... astaga, kamu lagi hamil, Pus!" Shalu panik setengah mati saat menyentuh perut si kucing yang buncit, juga saat melihat cukup banyak darah membasahi bulu hitam-putihnya.

Mungkin mayoritas orang yang melihat akan berpikir Shalu sinting, tapi gadis itu tidak peduli. Beberapa jenak kemudian dia mendengar langkah-langkah Brahma mendekat.

"Kita harus bawa kucing ini ke klinik gue!" Shalu membalikkan badan, mendongak menatap Brahma dengan ekspresi kalut.

Cowok itu sebenarnya agak geli menyaksikan pemandangan di hadapannya. Hampir saja dia tertawa melihat wajah Shalu yang merah padam karena panik. Namun, saat menatap sorot mata Shalu yang benar-benar menyiratkan kecemasan, hasrat tertawanya menguap.

"Ta-tapi kita harus masak coto Makassar, Shal," ucap Brahma. Dia tidak mau kesempatannya berduaan dengan Shalu terbengkalai gara-gara seekor kucing. "Dan ... dan itu cuma kucing," lanjutnya santai.

Shalu yang semula masih berjongkok sembari mengelus-elus kucing itu, sontak berdiri saat mendengar perkataan Brahma barusan. Jarak keduanya kini sangat dekat, sehingga Brahma bisa mengendus wangi parfum Shalu yang segar. Darahnya seketika berdesir.

"Apa lo bilang? Cuma kucing? Brahma, dan itu cuma coto Makassar!" Shalu menatap Brahma nyalang, rahangnya menegang. Napas gadis itu memburu menahan amarah, sementara wajahnya mulai memanas, bahkan sampai ke telinga.

"Yang lo sebut cuma kucing ini buat gue adalah nyawa berharga! Gue bakal ngerasa berdosa seumur hidup kalau ngebiarin dia tergeletak di sini nungguin kematian. Lo nggak akan pernah ngerti, Brahma, sama seperti semua orang!"

Air mata sudah merebak di kedua kelopak Shalu. Jika ada yang bilang bahwa beragam emosi memang dekat sekali dengan airmata, maka Shalu adalah bukti konkretnya. Dia memang mudah sekali menangis. Saat sedih menangis, bahagia, marah, panik, dan bingung dia juga akan menangis.

Shalu kemudian berlari kecil ke warung coto dan kembali dengan menenteng sebuah kardus bekas bungkus mi instan lengkap dengan tali rafia. Cekatan, dia memasukkan si kucing yang mengeong lirih ke dalam kardus tersebut. "Its okay, Pus. Everything gonna be okay," gumam Shalu, tangan dan bibirnya bergetar.

Brahma masih berdiri mematung. Dia tak menyangka hal yang dianggapnya sepele akan begitu menyinggung prinsip Shalu. Oh, sepertinya dia lupa bahwa gadis yang ada di hadapannya ini adalah seorang dokter hewan? Sama halnya dengan dokter 'manusia' yang terikat dengan kode etik kedokteran, begitu pula veterinarians. Keadaan seperti ini adalah kondisi darurat, dan Shalu punya tanggung jawab untuk menyelamatkan korban. Kucing itu sekarang adalah pasiennya.

"Kalau lo nggak mau nganterin nggak apa-apa, Brahma. Gue bisa naik taksi." Shalu sudah selesai menali kardusnya, bergegas meninggalkan Brahma yang kakinya seolah tertancap di bumi. Dia menyesal sekali telah mengeluarkan ucapan yang membuat Shalu sampai semarah itu. Goblok!

"Shal! Gue antar!" Akhirnya Brahma bisa menyejajari langkah Shalu yang tergesa, dan segera menghampiri motornya.

Satu menit kemudian mereka melesat, Shalu membonceng motor Brahma sambil memangku kardus tersebut. Kecemasannya sudah sedikit mereda, tapi dia terus mendesak Brahma untuk mempercepat lajunya.

Dua puluh menit berlalu, motor sport Brahma berhenti di depan sebuah klinik di bilangan yang ramai. Klinik itu berada persis di pinggir jalan besar, sangat strategis. Catnya yang serba baby pink dengan stiker-stiker kucing lucu membuat Brahma menyunggingkan senyumnya. Ini lebih mirip toko mainan anak-anak, tapi ini juga Shalu banget, batinnya.

Deretan huruf-huruf kapital di atas atap kotaknya--identitas klinik tersebut--menyala berkedip-kedip hijau-merah-kuning-ungu, membuat siapa saja bisa melihat ejaannya meski dari jarak lima puluh meter. Kitty Clinic and Shop dengan ukuran huruf yang besar, sedang di bawahnya berderet rapi huruf-huruf lebih kecil berwarna biru yang tidak berkedip-kedip. Ejaan itu sekali lagi membuat Brahma tersenyum, kebanggaan dan kehangatan mendadak menyelimuti hati sang chef. Mungkin Shalu memang tidak ahli di dapur, tapi gadis itu adalah penyelamat hewan-hewan.

Brahma menggumamkan lirih ejaan tersebut sekali lagi. Kitty Clinic and Shop by drh. Shalu Yoris Bijani.

===&===

Suatu saat Evans juga bakal diajak ke kliniknya Shalu. Kalau Brahma bangga, ekspresi Evans bakal gimana, ya?

Stay tune terus di sini pokoknyaaa, maacih buat teman-teman yang masih setia ninggalin voment-nya! ❤

Salam Spatula,

Ayu 😘

The Last Recipe (Tamat)Where stories live. Discover now