03 : Pesta Perpisahan

20.9K 1.4K 10
                                    

Menjelang sore aku bersiap-siap akan membereskan meja, pak Beni keluar dari ruangannya dengan tas kerjanya.

"Sari, kamu sudah pesan tempat, kan?"

"Sudah, Pak."

"Baiklah, kita berangkat sekarang saja. Oh iya, yang lain mana?"

"Kikan dan Ibu Rani masih di ruangannya, sedangkan Sandi dan Sapri katanya mau nyusul ke restoran aja, Pak." Sari menjelaskan dengan nada tidak bersemangat, aku bahkan dia abaikan sejak tadi. Setiap aku bertanya pun Sari akan menjawab dengan singkat atau hanya berdehem saja, suasana hatinya pasti sangat kacau maka dari itu aku memilih diam saja sepanjang sisa waktuku bekerja.

Sepertinya Pak Beni menyadari mood Sari, lantas bicara. "Kamu jangan sedih gitu dong Rayana resign, kamu bisa ketemu kan di luar jam kantor nanti kalau kangen sama Rayana." Mendengarnya Sari makin manyun membuat Pak Beni tertawa.

"Gimana nggak sedih, Pak. Sahabat saya satu-satunya malah memilih resign, Bapak juga sih ngapain approve suratnya Rayana," keluh Sari kesal.

"Lho, kenapa jadi saya yang salah? Lagian saya tidak bisa melarang karyawan saya untuk berhenti bekerja disaat dia sendiri yang ingin keluar," kilah Pak Beni.

"Tahu ah." Pak Beni hanya geleng-geleng kepalanya saja.

Kedekatan Pak Beni dengan semua bawahannya memang terbilang dekat, bukan dekat dalam artian dekat yang mempunyai hubungan khusus. Tetapi Pak Beni memang jenis boss yang santai dan ramah dan tahu di mana saat serius bekerja dengan bercanda setelah jam kerja usai, seperti saat ini misalnya.

Beliau tidak segan-segan berdebat dengan Sari yang sepertinya merajuk mengetahui hari ini akan tiba di mana aku akan keluar dari kantor secepat ini.

"Sudah kita jalan sekarang saja, Sar, kamu panggil Ibu Rani dan Kikan di ruangannya. Saya akan tunggu kalian di parkiran," perintahnya lalu berjalan keluar dari ruangan.

"Apa?" tanyaku saat Sari masih menatapku.

"Nggak!" jawabnya lantas berlalu menuju ke bagian produksi di mana ruangan Ibu Rani dan Kikan berada.

Kini giliran aku yang geleng-geleng kepala melihat kelakuannya yang membuatku amat gemas.

"Dasar kekanakan!"

Aku kembali membereskan mejaku, mengambil barang-barangku yang sengaja diletakkan di atas meja agar terlihat indah dipandang dan sekarang karena aku sudah resign aku membereskan barang-barang tersebut untuk akh bawa pulang.

Suara langkah mendekat, aku mengangkat kepala menoleh pada Ibu Rani, Kikan, dan Sari berjalan beriringan.

"Pak Beni udah nunggu kita di parkiran, yuk jalan," ajak Sari padaku dengan wajah cemberut.

Astaga, dia masih merajuk rupanya.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang sampai ke dalam mobil Pak Beni, dalam perjalanan pun hanya suara Ibu Rani, Kikan, dan Pak Beni yang mendominasi karena baik Sari dan aku hanya diam. Tetapi diam yang berbeda karena aku fokus pada ponsel ditanganku sedang berbalas pesan dengan Mas Raihan.

From : Mas Raihan
Aku juga nggak makan malam di rumah kok, jadi selamat bersenang-senang 😘

Senyumku tidak berhenti berkembang saat melihat emot yang dikirimkan Mas Raihan, ada rasa geli dan juga gemas. Pasalnya Mas Raihan itu orang yang cukup kaku namun sangat penyayang sekali, sifat penyayangnya hanya akan diperlihatkan di dalam rumah jadi hanya aku yang tahu.

"Kamu senang banget, Ra?" Kikan menyenggol lenganku pelan sambil melirik ke ponsel ditanganku. "Oh, pantas kamu senang. Dapat WA dari suami tercinta toh," godanya disertai dengan tawa disusul Ibu Rani dan Pak Beni setelahnya.

Sontak wajahku langsung memerah karena malu.

***

Makan malam dengan semua karyawan kantor berakhir beberapa menit kemudian, Sari yang sejak tadi duduk menjauh diam sambil memakan makanannya kini mendekat padaku dan tidak mau lepas. Kikan dan Ibu Rani menatap kami dengan geli, sedangkan aku membiarkannya saja karena tahu Sari pasti sangat sedih.

"Ra, kita lanjut karoeke yuk?"

Aku tersenyum minta maaf. "Maaf, Sar. Tapi Mas Raihan udah dijalan mau jemput."

Sari mendesah kecewa membuatku tidak enak, Kikan yang berdiri di belakang mendekat lalu menepuk bahu Sari pelan. "Udah, Sar. Jangan pasang muka sedih kayak gitu, walau Rayana resign tapi kita bisa ketemu lagi nanti."

"Tapi gue...." Sari langsung memeluk tubuhku erat lalu menangis, aku hanya diam dan membalas menepuk pelan punggungnya mencoba menenangkannya. Aku tahu Sari perempuan yang tidak cengeng namun mungkin saja dia sedang datang bulan jadinya agak sensitif.

"Benar, Sar. Lo boleh telepon gue kalau kangen, kita bisa meet up diakhir pekan bersama," kataku sambil melepes pelukan kami, tepat saat itu mobil Mas Raihan berhenti di depan kami. "Mas Raihan udah jemput, gue balik duluan ya," pamitku pada semuanya.

"Hati-hati, Ra. Dan sampai jumpa lagi," sahut Kikan dan Ibu Rani sedangkan Sandi dan Sapri hanya mengangguk.

Mobil Mas Raihan melaju ke jalanan dengan kecepatan sedang, suara merdu Tulus menemani perjalanan kami yang penuh dalam keheningan. Mas Raihan belum mengeluarkan suaranya sama sekali, mungkin dia sangat lelah karena pekerjaannya di kantor, aku pun tidak berani untuk bersuara sebab takut menganggunya.

"Gimana makan malamnya?"

Akhirnya setelah keheningan panjang yang tercipta, Mas Raihan mengeluarkan suaranya juga.

Aku lantas menoleh padanya. "Lancar kok, hanya saja Sari nggak berhenti memasang wajah cemberut hari ini sampai aku diabaikannya."

"Kan kalian bisa ketemu kapan aja nanti," sahutnya santai sambil memutar kemudi ditangannya.

"Kikan juga bilang gitu, mungkin dia lagi datang bulan sehingga bersikap berlebihan kayak gitu," kataku seraya menatap wajah Mas Raihan dari samping.

Tampan.

Beruntungnya aku bisa mendapatkan suami seperti Mas Raihan.

"Benar juga, hormon wanita memang mengerikan apalagi kalau lagi datang bulan. Ck!"

Aku tertawa mendengarnya. "Curhat, Mas!"

Mas Raihan ikut tertawa. "Aku kan udah terbiasa dengan perubahan mood perempuan, dulu juga Irene begitu sampai aku pusing dibuatnya."

Aku mengerutkan dahi mendengar Mas Raihan menyebut nama asing ditelingaku. "Irene?"

Mas Raihan seperti menyadari sesuatu karena setelahnya dia menutup mulutnya, wajahnya seketika mendung dan tatapannya menjadi kosong hingga membuatku makin mengerutkan dahi.

"Mas Raihan," panggilku dengan suara pelan. "Kamu kenapa?" tanyaku sambil menyentuh lengannya lembut membuatnya tersentak.

"Apa?" Sepertinya tadi dia melamun sambil menyetir.

"Mas Raihan kenapa malah melamun? Ingat kita lagi dijalan, fokus, Mas." Aku mencoba mengingatkan sebab kalau tidak kami mungkin akan berada di rumah sakit malam ini.

"Ah, maaf." Hanya itu yang Mas Raihan katakan setelah itu kembali menatap jalanan di depannya.

Sedangkan aku hanya diam memandang jendela di sebelahku, namun pikiranku begitu banyak pertanyaan yang sangat ingin aku katakan pada Mas Raihan. Apalagi dengan pertanyaan yang belum Mas Raihan jawab.

Irene? Siapa dia sebenarnya?

***

Bersambung

Baru bisa update gaess 🙏

(Not) A Choice BrideWhere stories live. Discover now