04 : Bingkai Foto

16.7K 1.3K 3
                                    

Semejak kejadian di dalam mobil kemarin malam, Mas Raihan makin pendiam saja sehingga aku dibuat bingung sekali. Biasanya dia akan menceritakan apa yang terjadi padanya seharian ini, entah tentang kantor, entah tentang para pegawainya, dan tentang klien yang makin banyak maunya sampai dia makin pusing.

Namun, semalam saat tiba di rumah Mas Raihan langsung mandi dan tidur tanpa mengeluarkan suaranya sama sekali. Tentu saja hal itu mempengaruhi suasana hatiku juga, Mas Raihan tidak pernah sekalipun mengabaikanku dan sekarang aku merasa tidak dianggap oleh suami sendiri hanya karena Mas Raihan menyebut nama Irene.

Astaga, sungguh aku penasaran siapa Irene sebenarnya?

"Non."

Panggilan dari Mbak Marni membuyarkan lamunanku. "Iya, Mbak?"

"Kenapa melamun?"

Aku meringis pelan. "Nggak kok, Mbak. Aku hanya lagi kepikiran sama sikap Mas Raihan saja."

Mbak Marni yang sedang membersihkan meja makan menatapku dengan heran. "Emang Tuan kenapa?"

"Mbak ngerasa nggak kalau Mas Raihan banyak diam sejak semalam," ujarku lalu mengangkat piring bekas sarapan kami.

"Iya sih, mukanya juga muram tadi pagi."

Aku ragu untuk bertanya namun rasa penasaran lebih mendominasi. "Mbak, aku nanya sesuatu....." Mbak Marni memusatkan perhatiannya padaku. "Mbak tahu nggak perempuan bernama Irene?"

Sungguh reaksi Mbak Marni diluar dugaanku, tubuhnya tampak kaku sejenak sebelum kembali rileks. "Non tahu darimana soal Non Irene?"

Aku bercerita. "Kemarin Mas Raihan nggak sengaja menyebut nama itu saat kami pulang dari restoran, saat aku bertanya siapa Irene. Mas Raihan malah terdiam dan mukanya mendadak muram, itu berlanjut pagi ini sampai dia pergi ke kantor tadi. Aku jadi penasaran dengan Irene."

"Aduh, bukannya saya nggak mau menjawab tapi saya merasa itu bukan hak saya jadi sebaiknya tanya Tuan aja dan kalau Tuan belum bercerita, sebaiknya Non Rayana mau menunggu."

Aku mendesah kecewa, namun walau kecewa aku tidak akan memaksa Mbak Marni untuk bercerita. Memang benar katanya kalau itu bukan haknya untuk menjawab.

Baiklah, aku akan memendam rasa penasaran di dalam hatiku dan menunggu sampai Mas Raihan sendiri yang bercerita nantinya seperti yang disarankan Mbak Marni.

"Nggak pa-pa kok, Mbak. Aku ngerti dan aku berjanji akan menunggu sampai Mas Raihan sendiri yang akan menceritakannya."

Mbak Marni menepuk punggung tanganku. "Non sebaiknya istirahat saja ya, biar saya yang melanjutkan cuci piringnya."

Aku lantas menggeleng menolak. "Biar aku aja, Mbak."

Selesai mencuci piring aku pamit untuk kembali ke kamar, aku terdiam tidak tahu apa yang akan aku lakukan sekarang. Mas Raihan sudah berangkat ke kantor begitu pula dengan Mama Rita sudah pergi ke butiknya.

Ngomong-ngomong, Mama Rita adalah desainer baju ternama di Jakarta. Banyak kalangan pejabat, artis, bahkan petinggi perusahaan yang menjadi kliennya. Sedangkan untuk Papa dari Mas Raihan sudah meninggal dunia sejak tiga tahun yang lalu, Mas Raihan yang menjadi anak tunggal sangat disayang oleh Mama Rita begitupun sebaliknya.

Maka saat Mas Raihan memilihku menjadi istrinya, Mama Rita lantas tidak setuju karena menurutnya Mas Raihan sebagai Direkrur utama di perusahaan besar tidak sebanding denganku yang hanya karyawan biasa sebuah perusahan kecil.

Ya, katakanlah aku sangat beruntung bisa bersanding dengan Mas Raihan yang sempurna. Dia tampan dan mapan, aku saja masih bingung kenapa Mas Raihan bisa memilihku menjadi istrinya disaat ada banyak perempuan diluar sana yang lebih dari segalanya daripada aku.

Namun, apa pun alasannya aku mencintai Mas Raihan begitupun dengannya. Itu yang aku tahu saat ini.

***

Sepanjang hari ini aku hanya duduk diam di dalam kamar atau membantu pekerjaan Mbak Marni walau beberapa kali diusir untuk beristirahat di kamar saja, tentu aku menolaknya karena tubuhku sudah terbiasa bergerak sejak dulu jadi aneh rasanya kalau aku duduk terdiam di rumah.

Bukan, aku bukan menyesal karena sudah resign dari kantorku. Aku hanya kaku tidak tahu apa yang akan kulakulan seharian di rumah, sungguh rasanya sangat bosan.

Bunyi dering ponsel menyadarkan lamunanku, aku melirik layar muncul nama Mas Raihan. Segera saja aku mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Mas," sapaku setelah menekan tombol hijau.

"Waalaikumsalam, Ra, tolong kamu ke ruangan kerjaku dan ambilkan map warna biru di atas meja. Sebentar lagi Fandi sampai di rumah untuk ambil map-nya."

"Baik, Mas."

"Ya udah, terima kasih."

Klik...

Aku menatap layar ponsel yang sudah gelap dengan sendu, menghela napas panjang aku bergegas ke ruangan kerjanya dilantai dua.

Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam ruang kerja Mas Raihan setelah tinggal di rumah ini selama dua bulan, bukannya dia tidak mengizinkan aku masuk ke ruang kerjanya hanya saja memang aku tidak pernah menginjak lantai dua di rumah ini.

Ruang kerja Mas Raihan cukup nyaman, pantas dia sangat betah berlama-lama di sini. Setelah menatap ruangan ini aku mendekat ke arah meja untuk mencari map biru seperti yang dikatakan Mas Raihan ditelepon, aku tersenyum saat mendapatkan map tersebut.

Baru aku akan melangkah keluar, mataku menangkap sebuah bingkai foto dengan keadaan di balik di atas meja karena penasaran aku mengambil bingkai itu lalu membaliknya. Keningku berkerut dalam ketika melihat bingkai itu kosong, tidak ada foto di dalam bingkainya.

Aneh.

Tok... Tok...

Aku mengangkat kepala begitu mendengar ketukan dari luar dan tidak lama pintu terkuak memunculkan sosok Mbak Marni.

"Maaf, Non. Asisten Tuan ada di bawah mencari Non Rayana," beritahu Mbak Marni.

"Baik, Mbak. Aku segera turun."

Setelah Mbak Marni berlalu, aku menyimpan bingkai kosong itu kembali di atas meja lalu melangkah keluar untuk menemui Fandi yang sudah menungguku.

Begitu tiba di bawah aku disambut senyuman tipis seorang laki-laki muda yang aku pastikan bernama Fandi.

"Bu, saya diperintahkan Bapak untuk ambil map-nya yang ketinggalan," katanya setelah aku berdiri di depannya.

"Oh iya, ini map-nya." Aku menyerahkan map biru ditanganku padanya.

Dia terlihat memeriksa isi map tersebut sebelum menatapku. "Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya jalan dulu," pamitnya mengangguk sekali lalu melangkah keluar.

Aku mengikutinya sampai depan pintu, setelah mobil yang dia kendarai keluar dari halaman rumah, aku menutup pintu dan melangkah masuk ke dalam kamar. Namun, saat akan melewati tangga aku berhenti sejenak dan melihat ke lantai dua di mana letak ruang kerja Mas Raihan, jujur aku masih penasaran dengan bingkai foto kosong yang berada di atas mejanya. Kalau memang bingkai foto itu tidak dipakai lagi kenapa Mas Raihan masih menyimpannya di atas meja.

"Non Rayana, ngapain berdiri di sini?"

Aku tersentak tiba-tiba Mbak Marni berdiri di sampingku. "Ah, nggak, Mbak. Ini aku mau masuk ke kamar."

Mbak Marni tersenyum. "Non kelihatan bosan ya tinggal di rumah, gimana kalau Non cari kesibukan supaya nggak bosan-bosan amat di rumah," sarannya membuatku berpikir sejenak.

Saran yang diberikan Mbak Marni ada benarnya juga.

Baiklah, akan aku bahas dengan Mas Raihan setelah dia pulang kerja nanti.

Bersambung

Akhirnya BPP kembali update setelah sekian lama hehe
Ikuti terus kisah Rayana yang memperjuangkan pernikahannya ya, konfliknya sedikit demi sedikit akan terungkap kok. Yang penasaran pantengin aja terus ceritanya 😊

(Not) A Choice BrideOnde histórias criam vida. Descubra agora