Sepatu Butut ~ Nabila Anggriyani

228 8 0
                                    


     Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti sepatu bututnya itu. Kalau sepatu itu masih layak sih mungkin tidak apa-apa, tetapi sepatu itu sudah kelihatan sangat kumal, jauh dari kategori layak pakai. Walau pun orang tua kami bukanlah orang kaya, tetapi kurasa mereka masih mampu membelikan vian sebuah sepatu baru yang lebih layak pakai.
     Entah mengapa pula, hanya aku yang selalu memperhatikan sepatu bututnya vian. Sepatu butut itu begitu menggangu pandanganku. Orang tua kami tidak pernah protes kalau vian mengenakan sepatu butut itu lagi.
     Pagi ini kami akan berangkat sekolah, lagi-lagi sepatu butut itu lagi yang kuperhatikan. Tidak ada yang lain yang ku perhatikan dari vian, aku jadi malas bila berjalan dengannya. Aku malu bila harus berjalan dengannya, seperti berjalan dengan gembel.
     Sepatu butut itu begitu menggangu pikiranku kenapa vian tidak minta sepatu baru saja biar keren seperti teman-temanya, si ivan dengan sepatu ketsnya, arau seperti dodi dengan sepatu sportnya?
     Di suatu malam, aku berpikir untuk menyingkirkan sepatu butut itu. Aku berencana membuangnya pada hari minggu. Jadi kalau pada hari minggu ia tidak menemukannya, masih ada kesempatan untuk membeli yang baru sehingga ia masih bisa masuk di hari seninnya.
     Untuk membuang sepatu butut tentu saja tidak memerlukan rencana yang rumit, cukup sederhana saja pasti aku bisa melakukannnya, hanya tinggal meunggu vian tiduk di malam hari, dan kemudian aku tinggal menjalankan misinya. Hari yang kunantikan pun tiba, segera aku bersiap menjalan kan misiku. Ku lihat vian sedang tidak ada di rumah.
   Tepat pada pukul 20.00 aku pun memulai mengambil sepatu itu dan membawanya pergi melalui pintu belakang, aku pun segera menuju sebuah danau yang tak jauh dari rumah. Aku berjalan menyusuri hutan yang sedikut lebat tetapi tidak membuat ku takut sedikit pun, karena dulu aku sering kedanau ini bersama nenek untuk melihat bintang jatuh dan bersanda-gurau.
    Aku pun sampai di tepi dan memandang lurus kedepan sedikit terbesit rasa rindu akan seorang wanita tua yang selalu membuatku bahagia dengan lelucon tersendirinya, mengingat itu tanpa sadar mebuat air mata ku menetes.
"Nenek aku merindukan mu", gumamku.
   Tanpa ku sadari vian sudah berdiri tepat disampingku sama halnya sedang memandang lurus kedepan dan juga menitikkan air mata.
"Aku juga merindukan nenek", lankutnya.
"Ya semoga nenek tenang disana" lanjutku tanpa sadar dan melupakan sepatu yang kupegang disampingku, dan suasana pun hening.
"Hm boleh aku bertanya?" Ucap vian memecahkan keheningan.
"Tentu", jawab ku tersenyum.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan sepatuku?", Mendengaritu pun sontak membuat kutersadar bahwa sepatu itu masih di tanganku.
"A...a...ku tidak kok tidak ingin melaku kan apa-apa", jawb ku gugup.
"Jika kamu ingin membuangnya ku harap jangan", lirihnya pelan tapi masih bisa ku dengar.
"Apa yang berharga dari sepatu butut ini, aku bahkan malu berjalan denganmu karna sepatu butut ini", oh percayalah aku sungguh menyesal telah mengatakan itu, jika bisa ingin ku tarik kembali kata-kata itu krna melihat perubahan raut wajah vian yang tampak menyedihkan.
"Hmmm.....maaf", ucapnya menundukkan kepala.
"Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku tentang sepatu itu, tak biasanya dirimu meyembunyikan sesuatu dariku bahkan hal sekecil apapun, kamu tau kan kita sudah berjanji tak akan mrnyembunyikan sesuatu sejak kecil?", ujarku lirih.
"Ya aku tau", jawbnya menunduk.
"Jika kamu tau mengapa tak kamu ceritakan hal yang menyangkut sepatu butut ini!!!!", ucapku lantang.
"Baiklah akan ku ceritakan, tapi berjanji lah jangan berkecil hati setelah mendengar segalanya". Ucapnya kemudian duduk di tepi danau.
"Baiklah aku berjanji". Ucapku lalu menyusulnya duduk di hamparan rumput halus di tepi danau itu, vian nampak menarik nafas dalam dan kemudian menghembuskan secara perlahan.
"Sebenarnya sepatu itu adalah pemberian nenek dulu" mendengar itu pun terbesit rasa kecewa dihatiku karena nenek memberikan vian sepatu sengakan aku tidak.
"Dia selalu berusaha mengumpulkan uang dari hasilnya berjualan kue, dia selalu menabung untuk memberikan kita berdua hadiah. Tapi pada suatu hari tanpa aku sadari ternyata sepatuku rusak dan kamu tidak mengetahuinya termasuk orang tua kita hanya nenek yang mengetahui hal itu".
"Nenek yang melihat itu pun langsung pergi menuju kepasar untuk membeli sepatu dengan uang seadanya dan dia bilang maaf mungkin dirimu akan terlambat mendapatkan hadiah karena uangnya tidak cukup untuk dua sepatu, dan dia berjanji akan mengumpulkan uang kemabali untuk memberimu hadiah." Aku pun masih setia mendengarkan vian bercerite yang sekali-sekali mulai mengusap air matanya.
"Namun siapa sangka bahwa hari itu adalah hari terkahirku melihat senyuman nenek, nenek pergi meninggal kan kita dan dia sempat berpesan kepadaku sebelum kita pergi sekolah agar tak memberi tahumu tentang sepatu itu karna dia tak ingin dirimu sedih dan merasa pilih kasih, tapi syng nya aku t'lah melanggar amanat nya untuk tak menceritakan semuanya, maafkan aku nenek" ucapnya sembari terisak.
"Maaf kan aku", aku pun tak bisa lagi membendung air mataku agar tak mengalir.
"Tak apa yang penting dirimu tak marah lagi padaku tentang sepatu itu walaupun jelek, sepatu itu lah kenang-kenangan satu-satunya yang kusayng, jadi ku mohon jangn pernah berniat membuang sepatu itu aku janji tak akan memakainya ke sekolah lagi dan membuatmu malu lagi, tapi biarkan aku menyimpan sepatu itu". Ujarnya sembari memohon.
"Tidak, aku tak akan membuangnya aku sungguh menyesal telah berniat membuang sepatu itu, andaikan saja kamu bercerita tentang sepatu ini jauh sebelum aku berniat membuang nya mungkin saat ini tak akan terjadi". Ucapku kecewa.
"Maaf kan aku, aku hanya tak ingin kamu kecewa dan berpikir nenek pilih kasih antara kita tapi percayalah nenek sangat menyayangi kita berdau". Uajarnya kembali terisak.
"Tak apa aku mengerti jadi berhentilah menangis kita laki-laki masa cengeng sih" aku pun berusaha menenangkan nya.
"Kamu tak marah denganku?". Tanya vian.
"Untuk apa, tak ada yang harus di marahkan, vian kecewa itu pasti karna kamu tak memberi tahuku sejak awal tentang ini namun itu tak membuat ku benci kepadamu atau kepada nenek aku sangat menyayangi kalian tak mungkin hanya krna sepatu aku bisa membenci kalian, aku malah akan membenci diriku sendiri kalau aku benar-benar membuat sepatu ini berlayar di danau atau bahkan akan menjadi kapal karam di danau ini".  Ucapku terkekeh geli sembari memerikan sepatu itu ke vian kembali.
"Maaf kan aku". Lirihnya kembali.
"Tak apa aku mengerti".  jawab ku tersenyum.
"Terima kasih". Balasnya tersenyum.
Dan setelah itu pun kami memutuskan untuk pulang kerumah.
Keesokan harinya, kami pun melakukan kebiasaan hari-hari kami seperti sarapan dan berangkat sekolah bersama. Tapi seperti itulah tak ada lagi sepatu butut, kusam,dekil dan kumal itu, vian tak lagi memakinya namun dia menyimpannya di dalam lemari untuk menjadi kenangan yang jauh terlampau waktu.

Sepatu Butut A SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang