Chapter 3. Kuli Panggul

99 11 0
                                    

Sebuah rombongan sekitar dua puluh orang berjalan di dalam hutan rimba, sepuluh orang membawa senjata, sedangkan sepuluh lainnya menenteng sebuah tas besar di punggung. Wajah mereka tampak lelah, beberapa kali mereka sampai mengelap keringat yang mengucur deras. Hawa hutan yang lembab dan pengap menyelimuti mereka.

Tiba di bawah sebuah pohon besar, salah satu dari mereka meminta berhenti. Ke sepuluh orang yang membawa senjata langsung mencari tempat untuk beristirahat, sementara sepuluh orang pembawa tas mengeluarkan botol minuman dari dalam tas. Mereka langsung memberikan minuman itu kepada sepuluh orang pembawa senjata.

"Mentor, kita sudah berkeliling di wilayah sini selama tiga hari, tapi kebanyakan monster yang kita temui hanya jenis monster tingkat pertama saja. Kami sudah mencapai fase akhir dari tahap lima indera. Semua monster tingkat pertama bisa cukup mudah kami kalahkan kalau kami bersama. Apa tidak sebaiknya kita pindah ke wilayah lain lagi?"

"Kalian itu baru mengalahkan beberapa monster tingkat rendah saja sudah tamak. Pengalaman kalian itu masih sangat kurang, jadi jangan gegabah. Tunggu empat hari lagi disini, kalau kemampuan kalian dirasa sudah meningkat, baru kita cari wilayah baru. Anggap saja pelatihan dua minggu di luar zona aman ini sebagai penambah pengalaman."

"Wah kayaknya empat hari terlalu lama. Begini saja mentor, tugas mentor kan hanya menjaga kami. Bagaimana kalau kita pindah wilayah sekarang, nanti pulang dari sini mentor akan aku kasih tips tambahan." Saran salah satu remaja gendut pemegang kapak.

"Wah aku tidak berani! Itu melanggar aturan sekte." Tolak lelaki yang dipanggil mentor.

"Lima ribu dollar, bagaimana?"

"Deal!"

Mendengar tawaran menggiurkan itu, si mentor langsung setuju dengan permintaan si remaja.

Disini rombongan terdiri dari sembilan remaja petarung, satu orang pria sebagai mentor mereka, dan sepuluh orang laki laki dan perempuan dari berbagai usia memanggul tas besar berisikan bekal dan material hasil buruan. Kesembilan remaja itu adalah salah satu murid Sekte Awan Hitam berusia lima belas hingga enam belas tahun yang sedang melaksanakan kegiatan praktek beladiri di alam liar. Sementara si mentor adalah salah satu pengawas Sekte Awan Hitam yang sudah sampai pada tahap organ dalam fase jantung. Dialah satu satunya yang terkuat di dalam rombongan.

Sedangkan sepuluh orang yang membawa bawa tas adalah para kuli panggul yang tidak punya ilmu beladiri sama sekali. Kekuatan mereka hanya berkisar antara manusia biasa dan tahap lima indera fase penglihatan. Kebanyakan yang sudah mencapai tahap pertama adalah mereka yang sudah berusia matang atau dewasa.

Pekerjaan sebagai kuli panggul adalah pekerjaan paling beresiko di era baru. Mereka tidak hanya membawakan bekal dan material hasil buruan, mereka juga yang bertugas untuk menyiapkan makan, tenda, dan perlengkapan medis. Mereka yang berprofesi sebagai kuli panggul memiliki tingkat kematian paling tinggi dilanjutkan dengan para petarung sakti. Hal ini karena kemampuan beladiri mereka yang rendah.

Orang orang yang mengambil pekerjaan sebagai kuli panggul biasanya dikenal sebagai orang gila, nekad, dan pemberani. Mereka rela menjadi kuli panggul dengan bayaran tidak seberapa hanya demi menyambung hidup.

Tidak terkecuali seorang bocah remaja yang kelihatan mencolok di tengah orang orang dewasa yang sedang sibuk memasak. Dengan tubuh kurus dan kumal, bocah itu turut sibuk mengupas sayuran untuk makan siang rombongan itu. Dialah Adam, bocah laki laki yang sembilan tahun lalu ditinggal bunuh diri kedua orang tuanya.

Di usia yang menginjak empat belas tahun, Adam sama sekali belum pernah merasakan masuk ke sekolah petarung. Dia hanya sempat bersekolah di sekolah umum selama dua tahun, selebihnya dia dikeluarkan karena tidak ada biaya lagi.

Sejak kedua orang tua Adam meninggal, semua harta ayah ibunya dijual untuk mengurangi hutang keduanya. Setelah itu Adam diasuh oleh pamannya yang tinggal sendiri. Menginjak sekolah dasar, Adam sempat bersekolah di sekolah umum.

Dua tahun berselang, paman satu satunya juga ikut tewas saat terjadi penyerangan para monster. Saat itu Adam selamat karena dia ada di sekolah. Sejak saat itulah Adam berhenti sekolah. Bagaimana dia bisa membayar biaya sekolah, untuk hidup saja dia kebingungan. Mau meminta bantuan pemerintah, namun saat itu seluruh dunia masih sangat kacau.

Oleh karena itu, Adam melakukan apa saja untuk bisa bertahan hidup. Dia sejak usia tujuh tahun sudah harus mencari pekerjaan kesana kemari untuk bertahan hidup dan mencicil hutang hutang kedua orang tuanya. Dia yang tidak punya rumah lagi, kini tinggal dimana saja.

"Adam, ambilkan bawang dari dalam tas di dekatmu itu." Bisik seorang pria paruh baya.

"Oke om!" Jawab Adam.

"Dam, sini juga butuh bantuan! Carikan air bersih buat minum sama cucikan sayur ini juga!" Suruh salah satu pria lain.

"Siap mas Jon! Ayo mas Fathur, bantu aku." Ujar Adam sambil mengambil sayuran dan beberapa botol minuman yang sudah kosong.

Adam dan seorang pria muda ditemani seorang remaja bersenjata sebuah tombak mencari letak sumber air terdekat.

Tidak lama mereka berjalan, mereka menemukan sebuah mata air. Adam dan si pria muda mulai mencuci sayuran dan mengisi botol botol minuman.

"Dam, aku tuh penasaran. Kamu kan masih muda, kok nggak ikut berlatih ilmu beladiri?" Tanya si pria muda.

Mendengar pertanyaan itu, si remaja pemegang tombak tersenyum sinis.

"Nggak ada uang mas Fathur." Jawab Adam.

"Lho, uang upah kuli panggul kan lumayan. Buat hidup juga bisa ditabung, kan bisa juga buat ikut sekolah beladiri."

"Uangnya buat bayar hutang bapak ibu, mas." Ucap Adam sambil menghela nafas.

"Huh, mana bisa orang macam kalian masuk ke sekolah beladiri! Kalaupun bisa masuk juga kalian nggak akan paham ilmu yang diajarkan." Sindir si remaja bertombak.

Adam diam, si pria muda yang tadinya hendak bertanya juga akhirnya terdiam mengurungkan niatnya. Mereka kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa kata.

TOTEMWhere stories live. Discover now