III

2.6K 411 28
                                    

Dan keesoknya yang Jaehyun tahu, ia pergi ke Neraka.

Saliva diteguk perlahan. Pintu yang berdiri kokoh di hadapannya tampak mengintimidasi. Jaehyun nyatanya membenci pintu ini, pintu ini bisa dikatakan sebagai saksi bisu akan pelukisan luka pada tubuhnya. Tak terhitung berapa kali ia diseret paksa melewati pintu itu.

Ia selalu ingat kalau ia bergetar ketakutan sebelum membukanya. Bahkan dalam hatinya ia berdoa pada Yang Maha Kuasa untuk dijauhkan dari apapun yang akan menyakitinya.

Ia menghela napas. Mata terpejam. Hati dan benak memohon ampun dan perlindungan. Perlahan, tangannya terangkat, menekan kata sandi sebelum akhirnya pintu itu dapat dibuka dengan mudah.

"Uhuk!"

Jaehyun menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan. Bau rokok dan alkohol bercampur dengan cairan asam dari muntahan. Jaehyun tidak tahu rumah ini akan seberantakan ini setelah ia tinggal selama dua malam.

Dengan langkah pelan dan ragu, ia melangkahkan kakinya. Sesekali ia menatap ke bawah, menghindari entah cairan, bungkus atau puntung rokok, dan botol yang berserakan di lantai. Tempat yang biasa ia sebut Neraka itu semakin terlihat Neraka-nya.

Yang ia inginkan saat ini hanyalah barangnya bisa diselamatkan dan ia bisa pergi dari rumah ini. Selamanya.

Dengan tambahan, ia juga tidak akan menemui Iblis itu untuk saat ini dan juga nanti-nanti.

Namun entah kenapa, Jaehyun mulai berpikir kalau ia berharap lebih.

"Si tidak tahu diri ini sudah pulang?"

Jaehyun membeku saat matanya bertemu tatap dengan tatapan dingin Yuta. Bibir digigit. Tubuh bergetar tanda takut. Pemuda yang berasal dari Jepang itu berdiri di ambang pintu kamar mandi. Rambutnya yang berwarna merah panjang itu berantakan, begitu pula dengan bajunya -terlihat bercak-bercak yang entah apa menempel di kausnya, mungkin sisa muntahan.

"A-aku hanya-"

"Sialan! Dasar tidak tahu diri, kau pikir siapa kau, hah?! Kau milikku, hanya milikku! Apa sulit untukmu paham?!"

Jaehyun bisa melihat pemuda itu berjalan cepat ke arahnya dengan tangan kanan yang terangkat. Tinggal menebak: apa Yuta akan menamparnya atau meninju wajahnya.

Namun untuk hari ini, bukan keduanya.

Tangan itu menggantung diudara kala ia hendak mengenai pipi Jaehyun. Satu tangan asing menahannya dengan erat, seakan bisa meremukkan pergelangan tangannya saat itu juga.

"Bajingan. Kau anggap apa Jaehyun itu?"

"Siapa ka-"

Satu tinju melayang mengenai pipi Nakamoto Yuta.

Jaehyun menutup matanya rapat-rapat. Kedua tangan menutup telinga, suara-suara keras selalu membuat jantungnya berdebar. Membobol pertahanan air mata yang sedari membendung di sudut mata.

"Apa-apaan kau, bajingan?! Kau mau membawa Jaehyun-ku dariku?!"

Ia tidak tahan dengan bentakkan.

Juga suara itu.

Suara Nakamoto Yuta.

Tubuh Jaehyun bergetar takut. Ia hanya berani menatap kakinya sendiri, itu pun sudah rabun karena air mata. Ia tidak tahu kalau hal ini akan terjadi. Beruntung Johnny mau ikut bersamanya, namun bentak-bentakan tidak termasuk ke dalam daftar prediksi Jaehyun.

Ia pikir Johnny bisa menahan dirinya.

"Apa maksudmu dengan 'Jaehyun-mu'?! Dia bukan milik siapa pun!"

"Berani sekali kau!"

Suara Johnny menggema tak kalah sengit dari suara si pria Jepang. Saut-sautan itu membuat tubuh Jaehyun semakin lemas. Sulit rasanya untuk tetap berdiri. Keduanya sudah saling meremat kerah baju, mungkin akan berlanjut dengan saling memukul.

Dengan seluruh kekuatannya Jaehyun berusaha menarik tangan Johnny.

Dan berhasil. Tarikan itu membuat Johnny tutup mulut. Manik matanya menatap ke arah Jaehyun yang masih menunduk karena takut.

"H-hentikan," ujar Jaehyun, suaranya serak. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia menatap balik mata Johnny dengan tatapan penuh harap agar ia menghentikkan bentakan-bentakannya.

Setelah menangkap kalau Johnny menjadi lebih tenang. Jaehyun menghela napas panjang.

"Yuta Hyung, aku akan mengambil barangku lalu pergi dari sini."

Mendengar itu, Yuta dengan gamblang menunjukkan wajah penuh amarahnya. Jaehyun yang selama ini selalu bertindak lemah dihadapannya, berani memberi tatapan penuh keyakinan walau pipi sudah basah karena air mata.

"Tak tahu diri," geramnya. Suaranya merendah. "Kau pikir kau siapa berani pergi dariku, Jung Jaehyun? Bajingan ini yang membuatmu berpaling dariku? Katakan, sekeras apa kau dibuat mendesah di ranjang oleh bajingan ini sampai kau lebih memilihnya?

Jalang."

Satu tinju kembali melayang ke wajah Yuta, kali ini lebih keras sampai-sampai pria itu jatuh tersungkur. Napas Johnny memburu, Jaehyun bisa mendengarnya dengan begitu jelas.

Mata Johnny bergetar penuh amarah —mungkin juga, keinginan untuk membunuh. Tangan Jaehyun menggenggam tangan Johnny lebih erat. Ia bisa merasakan bagaimana Johnny sesungguhnya ingin berteriak, membentak, mengumpat dan membuat Yuta babak belur dengan tangan kosong. Tapi ditahan mati-matian karena Jaehyun.

Yuta sempoyongan, ia merasakan kepalanya pusing. Efek dari alkohol juga tinju yang begitu keras membentur wajahnya. Darah segar mengalir lewat hidungnya. Tampak dirinya berusaha melawan rasa sakitnya sendiri, harga dirinya serasa diinjak-injak oleh orang yang bahkan belum ia ketahui namanya.

"Jaehyun."

Johnny berbalik. Senyum manis ditampilkan olehnya. Ia menghapus air mata Jaehyun dengan ibu jari. Berusaha mengalihkan perhatian Jaehyun dari erangan penuh amarah Yuta.

"Biar aku bantu membereskan barangmu."

Berikutnya, keduanya memasuki kamar yang biasa Jaehyun tempati, memasukan semua barang dan pakaian ke dalam koper besar lalu mengereknya menjauhi tempat itu tanpa peduli kalau Yuta sudah mengumpat ke keduanya.

Setelah apa yang terjadi, tatapan Jaehyun mendadak kosong, seakan semuanya sudah tersedot dan terjebak di balik pintu itu. Ia merasakan kehangatan di tangannya. Johnny berbagi kehangatannya pada tangan Jaehyun yang dirasa kehilangan kalornya perlahan. Seakan ia sudah mati di dalam sana.

"Jaehyun?"

Jaehyun tidak menjawab saat mendengar ucapan itu. Dunia terasa begitu lambat untuknya. Langkah kaki keduanya dan suara-suara di sekitar pun terasa hening. Dunia seakan pengap.

Kecuali suara Johnny.

"Tenanglah."

"Aku akan selalu di sini."

"Bersamamu."

"Menjagamu."



Dan semuanya pun menggelap.

— TBC.

Si penulis lagi stress soalnya lagi osjur, semoga cepat sembuh ya stressnya.

1004 || JohnjaeOnde histórias criam vida. Descubra agora