PROBLEMATIKA

42 4 0
                                    


*******

Kalau kamu rasa itu menyakitkan maka menangislah, jangan pernah lupakan ada pundakku yang akan selalu menopang dan meredakan isak mu.

~o0O0o~

Araka masih menggandeng tangan Ahra sambil berlari menuju rumah sakit, untungnya rumah sakit tempat Mamanya di rawat tak jauh dari sekolah sehingga Araka dan Ahra tidak perlu menggunakan transportasi menuju kesana.

Araka tidak bisa berpikir jernih kali ini, Mamanya sakit dan dia harus segera memastikan bahwa Mamanya baik baik saja.

"Ruangan nomor 5 anggrek" Araka sudah mencari cari ruangan itu, hingga ia menemukannya.

Araka masih berdiri di depan pintu ruangan itu, langkahnya masih ragu untuk masuk ke dalam sana. Mungkin saja Mamanya akan mengusirnya atau Mamanya akan menerimanya karena keadaannya sedang sakit? Araka belum bisa meyakinkan.

"Masuk, biar aku tunggu di luar" Ahra mencoba meyakinkan hati Araka.

Araka mengangguk "Kamu tunggu sebentar ya, doain semuanya baik baik saja." Pinta Araka penuh harapan.

Araka masuk ke dalam sana, dan menemui Abangnya Ghalih dan Mamanya yang tengah terbaring di atas ranjang rumah saki.

"Ma, ada Araka" Ujar Ghalih kepada Soraya, Soraya yang masih menatap ke luar jendela tiba tiba terkekeh entah kenapa.

"Ngapain pembunuh itu kesini?" tanya Soraya tiba tiba "Suamiku sudah mati karena dia"

"Ma, Araka anak Mama" Ujar Araka tak kuasa menahan air matanya.

"Araka anakku sudah mati" Ujar Soraya, menghancurkan hati Araka berkeping keping. Bagaimana tidak Soraya selalu saja menganggap Araka sebagai pembunuh Agam Ayah Araka, padahal semuanya hanya kecelakaan di luar dugaan Araka.

"Bang" Panggil Araka pada Ghalih. Apalah kuasa Ghalih keras kepala Mamanya tidak bisa lunakkan, semakin Ghalih berusaha semakin Mamanya merasa tersiksa.

Ghalih menyentuh pundak Araka sendu "Sekarang lo pulang dulu saja, besok mungkin Mama sudah baikan"

"Tapi, Bang-"

"Araka, gue bakalan jagain Mama. Gausah di ambil serius" tutur Ghalih, akhirnya Araka keluar dengan air mata dari ruanga itu. Jangan ambil serius, rasanya bukan kata kata yang tepat untuk Araka, setelah sepulu tahun di asingkan dan di anggap sebagai seorang pembunuh ayahnya sendiri oleh Mamanya sendiri, bahkan sudah di anggap tiada.

"Gimana? Mama kamu baik baik saja?" Tanya Ahra, yang melihat Araka keluar dari ruangan.

Araka menggeleng, air matanya lolos begitu saja. Dari situ Ahra sudah dapat mengetahui bahwa Araka dalam keadaan tidak baik baik saja. Mungkin Mamanya menolak kehadirannya lagi kali ini.

"Udah, ada aku" ujar Ahra merentangkan tangannya lebar lebar, menerma tubuh tinggi Araka di pelukannya, rasanya begitu sesak ketika melihat Araka bersedih seperti ini.

"Aku,,,,aku rasa bagian dari aku udah hancur, Ra" tutur Araka dalam isak tangisnya.

Ahra mengelus lembut rambut Araka, mencoba membuatnya selalu terjaga di sisi Ahra "Kamu masih punya aku" Ahra mencoba menenangkan "Mungkin Mama kamu, masih syok karena kecelakaan itu"

"Ra" panggil Araka melepas pelukannya.

"Iya" Ahra menyeka air matanya, tak ingin menambah kesedihan Araka.

"Jangan pernah jauh jauh dari aku, aku mungkin enggak akan bisa hidup lagi kalau kamu ninggalin aku" Araka terlalu takut dengan yang namanya kehilangan, setelah kematian sang Papa.

"Aku akan selalu di sini, enggak akan kemana mana" Ahra tersenyum meyentuh bagian dada Araka.

"Makasih" Araka memeluk Ahra sekali lagi, rasanya benar benar tenang dan bila seandainya tidak ada Ahra mungkin Araka akan gila seketika. Anak mana yang tidak akan merasa hancur bila tak di akui oleh orang tuanya sendiri dan hidup bertahun tahun dengan adik Mamanya.

Khawatir bukan main yang Ahra rasakan kali ini, sudah bertahun tahun Araka menginginkan kepedulian dari Mama kandungnya, namun setiap kali ia mencoba membuka hati dan mengingnkan kembali ke pelukan Mamanya ia justru selalu di campakkan. Sejak umur delapan tahun Araka tinggal dengan Senaya dan Dedi, paman beserta bibinya itu merawat dia dengan baik, tumbuh dan berkembang bersama Aldi adalah hal yang begitu berharga untuknya, meskipun terkadang ia juga ingin kembali kepada Mamanya.

"Mama enggak pernah sayang sama aku, Ra"

"Enggak, itu lebih baik dari pada tidak punya sama sekali"

"Yang penting aku punya kamu"

Ahra tersenyum, benar kata Araka lebih baik tak memiliki dari pada memiliki namun serasa tak memiliki.

 "Araka, everithing is okey. Selagi aku sama kamu."

AHRAKAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant