Surat Cinta Dwi Shandoro (4)

98 3 0
                                    

"Ruuum!"

Suara Dinar menggema di seantero halaman yang dipenuhi oleh kembang kertas berjenis zinnia elegans itu. Dinar menghambur ke arah abdi dalemnya, ketika ia melihat Rum datang dengan tergopoh-gopoh dari halaman samping.

"Ada apa, Ndoro?" Rum nampak bingung sekaligus cemas.

"Rum," Dinar memeluk perempuan yang usianya hampir sebaya dengannya itu. "Aku bahagia," ujarnya.

"Opo tho iki," ujar Rum. Perempuan yang memiliki tahi lalat di atas bibirnya itu nampak bingung.

Dinar melepaskan pelukannya, lalu mencengkeram lengan Rum, "Tebak! Apa yang terjadi padaku hari ini?" tanyanya, ada kilatan-kilatan indah di matanya yang cantik.

"Iya. Tapi, Ndoro lepaskan dulu cengkeramannya. Lenganku sakit," Rum protes.

Dinar cekikikan, "Oh maaf."

Dinar melepaskan cengkeraman tangannya. Lukisan bulan sabit, tak jua usai terlukis di bibir merah mudanya. Rum mengusap-usap lengannya yang sakit. Dinar terus menatap Rum, berharap bahwa gadis di hadapannya itu akan menebak apa yang dialaminya.

"Sampeyan menang lotre, bukan, Ndoro?"

Dinar tertawa, "Menang banyak pokoknya," ujarnya.

"Wah hebat!" Rum bertepuk tangan sambil tertawa.

Dinar tertawa. "Ini lebih hebat dari lotre, Rum," ujarnya kemudian.

Rum menatap bendoronya bingung.

"Mas Dwi mengutarakan perasaannya padaku."

Mata Rum membulat,"Oh ya?"

Perempuan di hadapannya tersenyum lalu mengangguk.

Rum memeluk bendoronya. Nampak jelas, tidak ada jarak di antara kedua gadis itu.

"Selamat, Ndoro," bisik Rum.

Dinar tersenyum, sambil membalas pelukan Rum.

***

Dinar menerima sepucuk surat cinta dari Dwi sandhoro yang berisikan beberapa bait puisi. Cintanya terhadap pria itu benar-benar telah membuatnya gila, sehingga Rum mulai merasa khawatir.

"Jangan terlalu kuat mencintai, Ndoro. Nanti sampeyan akan merasa sakit, kalau-kalau Ndoro Dwi macam-macam sama sampeyan," ujar Rum di suatu sore.

"Iya aku tahu. Tapi, aku percaya, kok, Rum, kalau Mas Dwi ndak akan pernah nyakitin aku."

"Ndoro, hati orang bisa berubah. Apa pun bisa terjadi, loh," lagi Rum coba mengingatkan.

"Tenang saja, Rum," Dinar menatap abdi dalemnya dengan hangat. Rum pasrah kalau bendoronya sudah bicara demikian. Itu artinya tidak akan ada masalah di kemudian hari. Ya, semoga saja...

****

Putaran waktu itu, telah membuatku merasa payah karena menahan gumpalan rindu

Nalarku tergadai seketika, saat melihatmu menatap indahnya swastamita

Kau tahu, Kekasih?

Apa yang telah dibisikkannya dengan mesra, pada hamparan teratai?

Bunga-bunga cantik itu telah menyampaikan bait-bait pesannya untukku

Ya, senja yang kita pandang bersama di sendang itu

Mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menatap kita

Dan...

aku merasa malu, ketika ku tiada mampu

memendam tiap bait rinduku untukmu

Hingga gelapnya bumantara tak terasa menenangkan atmaku yang berlari mencari siluetmu

Aku terkapar dalam afsunmu, duhai dayitaku...

Sepenggal puisi cinta dari Dwi Shandoro untuk Dinar yang digoreskannya di atas kertas cantik berwarna biru muda, serta merta membuat jantung gadis itu melonjak. Imajinasinya tentang diksi-diksi cantik atau metafora indah langsung memenuhi kepalanya.

Dinar tersenyum. Ia mulai berpikir, apakah dia harus menuliskan beberapa bait puisi juga untuk Dwi Shandoro?

Ah, Dinar begitu bahagia. Maka, ia pun mulai menuliskan beberapa bait puisi untuk pria itu;

Atmaku bergerilya ketika membaca tiap bait aksara yang kau susun sempurna, Kekasih

Seperti jejak-jejak malam yang tidak pernah lupa menaburkan bintangnya

Seperti kumpulan kata-kata yang ditulis oleh kalam bertinta emas

Ia pancarkan warna berbeda yang membuat aku merasa sempurna

Nyeyat dalam relung hatiku seketika memudar

Membawa riang yang tak terperikan...

Dinar tersenyum setelah menyelesaikan puisinya. Ia melipat kertas itu lalu memasukkannya ke dalam amplop bergambar bunga lily.

"Kuharap Mas Dwi menyukainya," ujarnya.[]


Opo, tho iki: Apa sih ini

Sampeyan: Anda, kamu

Kaum BendoroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang