Jiwa-Jiwa yang Tersakiti (6)

88 4 0
                                    



Keluarga Oe Tan Liem tinggal di kota Madiun, tepatnya daerah Mangunharjo. Dari jalan besar, sekitar 15 menit waktu yang di tempuh untuk sampai ke rumah pemilik 20 toko emas yang tersebar di Jogja, Semarang, Solo, dan beberapa wilayah lainnya. Mbok Nah mengunjungi orang tua Oe Tan Yuan di sore yang sedikit mendung. Suami istri Oe menyambut kedatangan Mbok Nah dengan perasaan bertanya-tanya. Selama ini, belum pernah Raden Kunto Aji mengutus seseorang ke rumahnya, kecuali dalam kondisi yang benar-benar serius. Maka dari itu, ada perasaan tidak enak ketika ujug-ujug Mbok Nah datang.

Nyonya Oe adalah wanita bertubuh gempal dan berkulit putih. Wanita itulah yang pertama-tama menerima surat dari Raden Ayu Tri Hapsari, ibunda Dimas Anggoro. Setelah membaca isi suratnya, seketika wanita berwajah bulat itu terlihat pias dan langsung duduk lemas di atas kursi, "Haiyyah, apa pula ini?"

Di sisi lain wajah Tuan Oe Tan Liem nampak kaku. Ketika ia membaca surat yang diambilnya dari tangan sang istri.

"Koh, bagaimana ini?" wanita itu menatap wajah suaminya, lalu beralih menatap Mbok Nah, "Haiyaa, anak owe balu saja sembuh a, pikilkan kondisinya dululah. Telus telang, owe jadi bingung, ma," ujarnya dengan logat Tionghoa yang khas.

Mbok Nah menunduk.

"Ya ampun... Yuan-Yuan," Nyonya Oe mengelus dada.

"Haiyaa, katakan pada bendolomu, kami belum bisa menjawab keinginannya," ujar Tuan Oe, "beli kami waktu ma, untuk belpikil sebental. Setelah kami memikilkannya, pasti kami kabali."

"Terlalu cepat maa..." Desis nyonya Oe, "owe olang syok, nih."

"Injih, saya akan sampaikan."

Mbok Nah pulang setelah memohon izin.

Nyonya Oe menangis sejadi-jadinya, setelah kepergian Mbok Nah. Dia tahu karena perasaan putrinyalah yang akan dikorbankan.

"Haiyaaa, bial Yuan yang memutuskan, kita sebagai olang tua hanya menulut saja," ujar Tuan Oe, "nanti bila ada waktu, kunjungi dia, maa."

"Iya, Koh," jawab Nyonya Oe, ibunda Oe Tan Yuan.

****

Pikirkan tentang hidup kita, Kekasih

Bukan hanya tentang rasa yang tercipta

Namun, tentang bagaimana kita mampu menyuburkannya

Raden Dimas Anggoro selalu menghabiskan waktu di dalam ruang kerjanya, kadang dia membaca atau menulis puisi. Tidak jarang pula, pria ini menghabiskan waktu di sisi jendela yang terbuka. Hanya sekedar melihat gugusan bintang atau bulan yang bersinar terang. Oe Tan Yuan seringkali datang menyapa suaminya di ruang kerja yang lebih mirip dengan perpustakaan itu. Namun, ia tidak pernah lama berada di sana. Tumpukan buku terkadang membuatnya merasa sesak.

Nampaknya, tidak ada yang istimewa dalam pernikahan mereka yang berjalan hampir setahun itu. Semua berjalan biasa. Raden Dimas Anggoro termasuk pria yang tidak terlalu banyak bicara. Sehingga komunikasi antara dua orang suami istri itu pun hanya sekedarnya saja. Dalam rumah tangga, Oe Tan Yuan yang mengatur segalanya. Nampaknya, wanita itu lebih banyak mengalah mengikuti pola pikir pria yang berusia 3 tahun lebih muda darinya itu. Walau demikian, bukan berarti Dimas Anggoro bisa berbuat seenaknya. Setidaknya, ia selalu berusaha melakukan hal yang sama, yaitu berusaha membuat istrinya bahagia.

"Rama," Oe Tan Yuan nampak berdiri di depan pintu. "Boleh aku masuk?"

Dimas Anggoro mengangguk. Yuan masuk, lalu berjalan ke arahnya.

"Rama. Mengenai masalah yang kemarin. Bagaimana?"

Dimas Anggoro menatap istrinya. "Aku tidak tahu harus bicara apa. Bukankan kalian sudah mengatur semuanya?"

Wanita di hadapannya menunduk. Dimas Anggoro menarik napas panjang. Matanya mengawang jauh menatap kanvas langit yang di guyur tinta hitam. "Aku bisa apa, kalau kalian berkehendak seperti itu," gumamnya pelan.

"Rama," Oe Tan Yuan menyentuh lengan suaminya. "Maafkan aku. Ini semua salahku. Seandainya..."

"Sudahlah. Terlalu banyak berandai-andai pun rasanya percuma. Aku serahkan semua padamu."

"Baik, Rama. Aku mengerti."[]

Kaum BendoroWhere stories live. Discover now